KOMPAS.com – Pada saat ini, masyarakat banyak yang mengeluhkan suhu dingin di Jawa. Dalam kendinginan, Anda mungkin tidak sadar bahwa bulan lalu telah dinobatkan sebagai Juni terpanas dalam 140 tahun terakhir.
Dilansir dari Live Science, Kamis (18/7/2019), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melaporkan bahwa temperatur rata-rata daratan dan lautan global pada bulan lalu lebih tinggi 0,95 derajat celcius daripada suhu rata-rata bulan Juni global dalam sejarah yang hanya 15,5 derajat celcius.
Buktinya, Alaska, Hawaii dan Teluk Meksiko mengalami bulan Juni terpanasnya juga pada tahun ini. Negara-negara di Eropa, seperti Austria, Jerman dan Hungaria, juga mencatatkan bulan lalu sebagai Juni terpanas dalam sejarah mereka.
Bahkan saking panasnya, es di kedua kutub Bumi ikut mencair.
Harus diakui bahwa selama 20 tahun terakhir, Artika memang mengalami tutupan es lautan di bawah rata-rata setiap bulan Juni. Hal yang sama juga terjadi pada Antartika selama empat tahun terakhir. Namun pada bulan lalu, tutupan es bulan Juni di Antartika menjadi yang paling kecil selama 41 tahun terakhir.
Namun, Anda tidak bisa melihat fenomena ini sebagai fenomena jangka pendek yang hanya berlangsung sebulan saja. Sepanjang Januari hingga Juni, kita terus-terusan mengalami suhu tinggi.
Tahun ini bahkan menjadi periode Januari-Juni terpanas kedua bersama dengan 2017 karena suhu global 0,94 derajat celcius lebih tinggi daripada rata-rata periode yang sama pada abad ke-20 yang hanya 13,5 derajat celcius. Untuk diketahui, tahun dengan periode Januari-Juni terpanas adalah 2016.
Melihat tren ini, Anda mungkin bertanya-tanya, apakah suhu tinggi disebabkan oleh perubahan iklim?
Josef Werne selaku profesor ilmu geologi dan lingkungan dari University of Pittsburgh menjawab ya.
Dia mengatakan, iklim didefinisikan sebagai rata-rata cuaca jangka panjang selama beberapa tahun. Satu tahun atau musim yang dingin (atau panas) tidak banyak memengaruhi iklim secara keseluruhan.
“(Namun) ketika tahun dingin (atau panas) itu menjadi semakin regular, kita mulai menyadarinya sebagai perubahan iklim dan bukan cuma tahun cuaca yang anomali,” ujarnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/20/100600223/meski-sekarang-suhu-dingin-bulan-lalu-terpanas-dalam-140-tahun