KOMPAS.com - Gempa bumi yang mengguncang pulau Bali pada Selasa (16/07/2019) pagi yang lalu mengagetkan banyak orang. Pasalnya, kerusakan akibat lindu tersebut cukup banyak dilaporkan.
Sebenarnya, gempa pada Selasa pagi kemarin bukan yang pertama menggetarkan Bali.
Apalagi jika mengingat, pulau Bali merupakan bagian dari busur kepulauan Sunda Kecil (The Lesser Sunda) yang terbentuk sebagai akibat proses tumbukan busur benua (arc-continent collision) dan subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia.
Menurut Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, proses subduksi ini tidak hanya menimbulkan aktivitas tektonik seperti gempa bumi tetapi juga aktivitas vulkanik Gunung Agung yang secara berkala mengalami erupsi.
"Fenomena serupa dengan busur kepulauan lainnya, di busur kepulauan ini juga ditandai dengan sebaran vertikal pusat sumber gempa yang menukik dikenal sebagai zona Benioff-Wadati," ungkap Daryono melalui pesan singkat, Rabu (17/07/2019).
Meski begitu, gempa bumi berkekuatan M 6,0 yang mengguncang Bali, Jawa Timur, dan Lombok hari Selasa 16 Juli 2019 lalu menyisakan tanda tanya. Beberapa warga melontarkan pertanyaan kepada BMKG pasca terjadinya gempa.
Salah satu pertanyaan yang mendapat perhatian BMKG adalah, apakah yang menjadi pemicu gempa ini, dan apakah ada potensi gempa besar di zona subduksi lempeng selatan Bali?
Pemicu Gempa
"Jika kita memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya tampak bahwa gempa kemarin merupakan gempa kedalaman menengah yang dipicu oleh deformasi batuan tepat di bidang kontak antar-lempeng," tutur Daryono.
Hasil relokasi sumber gempa yang dilakukan BMKG, menunjukkan bahwa episenter terletak pada koordinat 8,97 LS dan 114,4 BT dengan kedalaman 75,6 km.
"Pada kedalaman ini berarti pusat gempa tidak terletak pada kerak benua, tetapi berada di zona slab interface-nya,' ujar Daryono.
"Artinya gempa ini berada di bidang kontak antar lempeng yang populer disebut sebagai interplate earthquake," sambungnya.
Pria asal Semarang itu juga menjelaskan, jika ketebalan kerak benua (Eurasia) rata-rata sekitar 30 km dan di bawahnya terdapat lithospheric mantle hingga kedalaman lebih dari 100 km, maka gempa pada slab interface masih terjadi hingga kedalaman 100 km.
"Gempa ini memiliki mekanisme sumber yang merupakan kombinasi antara pergerakan naik dan mendatar (oblique). Ini wajar karena hiposenternya terletak di zona transisi Megathrust-Benioff," kata Daryono.
"Mekanisme sumber murni sesar naik (thrust fault) biasanya berada di zona megathrust yang kedalamanya lebih dangkal," imbuhnya.
Potensi Gempa
Daryono mengatakan, gempa kemarin pagi seolah memberikan pesan, bahwa zona subduksi lempeng selatan Bali masih aktif dan mampu memicu gempa signifikan.
"Gempa ini menjadi alarm pengingat bahwa kita patut waspada," tegasnya.
"Manifestasi sikap waspada dapat diwujudkan dengan membenahi upaya mitigasi secara menyeluruh, baik upaya mitigasi struktural maupun non struktural, bukan dalam bentuk sikap ketakutan dan kecemasan, serta sikap yang tidak produktif," tutur Daryono.
Meski lindu kemarin menunjukkan zona subduksi lempeng selatan Bali masih aktif, tapi catatan sejarah juga dapat menunjukkan potensi gempa kuat di Bali.
"Satu-satunya peristiwa gempa besar akibat aktivitas subduksi lempeng selatan Bali adalah peristiwa Gempa Bali 21 Januari 1917," kata Daryono.
"Gempa yang terjadi pagi hari pukul 6.50 WITA ini episenternya berada di Samudra Hindia sebelah tenggara Pulau Bali," tembahnya.
Daryono juga mengutip Fox (2010), gempa ini menyebabkan 1.500 orang meninggal, merusak 64.000 bangunan rumah termasuk beberapa istana, 10.000 lumbung beras, dan 2.431 Pura, termasuk Pura Besakih.
Dalam catatan lain, Soloviev (1974), gempa ini memicu tsunami di Klungkung hingga Benoa setinggi 2 meter.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/17/224546523/menilik-pemicu-dan-potensi-gempa-bali-pasca-m-6-mengguncang-selasa-pagi