"Sekitar Rp 2,5 triliun untuk cancer. Itu termasuk penyakit katastropik. Penyakit cancer itu enggak gampang," kata Nila ditemui di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (9/7/2019).
Biaya itu habis untuk pemeriksaan, perawatan, terapi hingga operasi. Pemeriksaan sendiri meliputi CT Scan, PET Scan, hingga MRI. Untuk beberapa jenis kanker, memang tak dilakukan tindakan sebab tidak memungkinkan.
"Kita lihat lagi apakah sudah metastatis dengan PET scan. Anda bisa bayangkan. Baru kita mau mengambil tindakan, apakah operatif atau tidak? Kalau kanker sel darah jelas enggak ada yang dioperasi," ujar Nila.
Selain itu, biaya untuk perawatan kanker juga tinggi karena obat yang diberikan.
Untuk itu, Nila mengapresiasi Perusahaan farmasi Korea Selatan Chong Kun Dang (CKD Pharma) dan OTTO Pharmaceutical, anak usaha dari perusahaan lokal Menjangan Sakti (MENSA) Group, yang membuka pabrik obat antikanker pertama di Indonesia.
Dengan demikian, Indonesia tak perlu mengimpor obat kanker.
"Minimal kan harganya tidak ada biaya distribusi, bisa lebih murah. Coba pesan dari Korea mesti shipping (dikirim). Berapa biayanya," ujar Nila.
Meski demikian, Nila juga berkata bahwa sebelum bisa digunakan di Indonesia, CKD OTTO tetap harus ikut lelang. Jika mampu memberikan harga terbaik, maka produknya akan didistribusikan massal untuk pengobatan kanker.
"Untuk harganya (lebih murah berapa) nanti lihat saja di e-Katalog. Yang pasti terjangkau dan tetap untung lah," kata Nila.
Pabrik yang terletak di Cikarang, Jawa Barat ini nantinya akan memproduksi obat seperti Oxaliplatin, Gemcitabine, dan Docetaxel.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/09/173315823/alasan-penyakit-kanker-habiskan-uang-negara-rp-25-triliun