Kematian memang menjadi salah satu konsekuensi dari kehamilan pada remaja. Berdasarkan studi yang dilakukan Togoobaatar Ganchimeg dkk untuk World Health Organization (WHO) pada 2014, kehamilan dan kelahiran ibu remaja menyimpan risiko yang sangat berbahaya.
Penelitian itu mengamati kehamilan dan kelahiran dari 126.446 ibu berusia kurang dari 24 tahun di 259 pusat kesehatan di 29 negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Timur Tengah.
Hasilnya, ibu berusia 10-19 tahun punya risiko tingi terkena eclampsia atau kejang dan koma. Selain itu, ada puerperal endometritis atau infeksi rahim dan infeksi sistemik. Bayi juga berpotensi lahir cacat karena persalinan.
Berdasarkan Laporan Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia, bayi yang dilahirkan oleh perempuan yang menikah pada usia anak punya resiko kematian lebih besar, dan juga punya peluang meninggal dua kali lipat sebelum mencapai usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 20 tahun ke atas.
Pernikahan usia anak menyebabkan kehamilan dan melahirkan dini yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Hingga 2017, diperkirakan masih ada 24 dari 1.000 bayi yang lahir dalam keadaan mati.
Ibu yang melahirkan pada usia di bawah 18 tahun juga berisiko melahirkan bayi prematur dan stunting (kerdil).
Hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur, dan hamil prematur di masa kehamilan. Bahkan ibu diperkirakan akan memberikan pola asuh salah pada anak karena terbatasnya pengetahuan sifat keibuan dalam psikologi.
Bersarkan Profil Anak Indonesia 2018 yang disurvei Menteri Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak, terungkap pada tahun 2017 sekitar 0,79 persen anak perempuan usia 10-17 tahun di Indonesia sudah melakukan perkawinan.
Tercatat 7 dari 20 anak perempuan yang berstatus kawin dan cerai pernah mengalami kehamilan yang pertama sebelum berusia 15 tahun.
https://sains.kompas.com/read/2019/07/05/092628423/kasus-gadis-meninggal-setelah-dihamili-bapak-asuh-bukti-bahayanya-kehamilan