KOMPAS.com - Air adalah benda paling berharga di Bumi. Tanpa air, seluruh kehidupan di Bumi akan musnah.
Meski sangat penting, anehnya, kita tidak tahu apa-apa tentang air. Terutama, bagaimana air tercipta.
Di bangku sekolah mungkin kita belajar bagaimana siklus air. Namun, dari mana asal air tidak pernah dijelaskan.
Sekilas, pertanyaan ini memang sederhana, tapi nyatanya hal tersebut telah membingungkan para peneliti hingga sekarang. Namun, para ilmuwan telah mengajukan beberapa teori untuk menjawab hal ini.
Sejak Big Bang
Salah satu teorinya diungkap dalam laporan di Smithsonian Magazine. Dalam teori tersebut, semuanya bermula dari pembentukan semesta atau kerap dikenal dengan istilah Big Bang.
Setelah ledakan besar Big Bang, terjadi pembengkakan di ruang angkasa yang ditransformasikan ke dalam bak partikel panas yang seragam.
Partikel-partikel itu kemudian bertabrakan, berdesakan, hingga bergabung menghasilkan inti atom pertama di alam semesta.
Proses panjang itu kemudian menghasilkan atom hidrogen, helium, dan litium.
Seperti yang kita ketahui, air sendiri adalah senyawa yang dibentuk dari hidrogen dan oksigen. Pada awal pembentukan semesta, hidrogen sangat berlimpah tapi bagaimana dengan oksigen?
Sekitar satu miliar tahun setelah Big Bang, bintang mulai berlimpah. Inti dari bintang sendiri sangat panas dan lebih tepat disebut tungku nuklir.
Tungku nuklir ini memadukan inti atom dari Big Bang menjadi elemen yang lebih kompleks. Maka terciptalah karbon, nitrogen, dan oksigen.
Setelah kedua bahan pembentuk tersedia, air tidak lantas terbentuk begitu saja. Air terbentuk ketika terjadi ledakan bintang atau kerap disebut supernova.
Ledakan tersebut memuntahkan elemen-elemen ini ke ruang angkasa. Di antariksa, hidrogen dan oksigen berbaur membentuk H2O atau air.
Molekul air ini kemudian menjadi bagian dari pusaran berdebu yang menyatu ke Matahari dan planet-planetnya yang dimulai sekitar sembilan miliar tahun setelah Big Bang.
Itulah bagaimana air bisa berada di Bumi.
Berasal dari Komet dan Asteroid
Menghadapi teka-teki ini, para astronom menyadari bahwa ada dua sumber air yang siap pakai, yaitu komet dan asteroid. Baik komet maupun asteroid dapat mengandung es.
Jika keduanya bertabrakan dengan Bumi, mereka menambahkan jumlah material yang diduga beberapa ilmuwan, benda-benda seperti itu bisa dengan mudah mengirimkan air lautan.
Pengamatan baru-baru ini tentang susunan kimiawi asteroid menunjukkan, rasio berbagai bentuk hidrogen dalam asteroid tampaknya lebih cocok dengan yang kita temukan di Bumi.
Tetapi analisis didasarkan pada sampel terbatas, artinya hipotesis ini belum sepenuhnya dibuktikan.
Baru-baru ini, peneliti kembali tertarik dengan air berasal dari komet atau asteroid. Mereka mengamati Komet 46P. Wirtanen pada 2018.
Mereka menemukan, pada komet yang dijuluki "komet hiperaktif" itu terdapat air dengan rasio yang sama dengan air di Bumi.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Astronomy and Astrophysics itu memberi lebih banyak wawasan tentang mengapa komet hiperaktif memiliki rasio isotop yang mirip dengan air Bumi.
Secara khusus, para peneliti dari Badan Antariksa AS (NASA) menemukan korelasi antara rasio D / H komet dan fraksi aktifnya - yaitu, fraksi layanan inti yang diperlukan untuk menyediakan air di atmosfer komet.
Para ilmuwan menemukan bahwa komet yang lebih hiperaktif adalah, semakin banyak rasio D / H menyerupai air Bumi. Ini membuat komet menghasilkan lebih banyak uap air dari partikel atmosfer kaya es daripada dari nukleusnya memiliki air lebih mirip Bumi.
https://sains.kompas.com/read/2019/05/31/222938923/rahasia-alam-semesta-asal-air-di-bumi-masih-bingungkan-peneliti