Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramai Hashtag #bertemudiklaten, Bagaimana Sih Asal Usul Nama Klaten?

Di bawah postingan foto mudik, banyak juga yang menyertakan hastag berupa kota tujuan mudik. Salah satu hastag yang paling banyak dipakai adalah #bertemudiklaten, setidaknya ada lebih dari 31,6 ribu orang yang menggunakan hastag ini sampai Jumat (31/5/2019) sore.

Namun tak lengkap rasanya kalau pulang ke rumah nenek tanpa tahu bagaimana asal usul nama Klaten itu sendiri.

Berkaitan dengan toponimi atau asal usul nama Klaten, ada dua versi yang berkembang.

Pertama, Klaten berasal dari kata kelati atau buah bibir. Kata kelati kemudian mengalami disimilasi (perubahan fonem) menjadi klaten. Buah bibir di sini mengacu pada fakta bahwa Klaten merupakan daerah sangat subur hingga menjadi buah bibir.

Kemudian versi kedua, nama Klaten berasal dari kata melati. Kata melati sering disebut Mlati dan akhirnya berubah menjadi Klati. Karena pengucapan Klati cukup sulit, warga setempat mengubahnya menjadi Klaten.

Melati di sini bukanlah bunga Melati. Menurut buku berjudul Klaten dari Masa ke Masa yang diterbitkan Bagian Ortakala Setda Kabupaten Dati II Klaten tahun 1992/1993, Melati merujuk pada nama kyai Melati Sekolekan.

Sekitar 560-an tahun lalu, Kyai Melati menginjakkan kaki di sebuah tempat yang masih berupa hutan belantara dan menetap di daerah tersebut.

Sejak Kyai Melati tinggal di wilayah tersebut, perlahan-lahan hutan dibuka untuk ditinggali orang-orang. Area hutan yang ditinggali Kyai Melati inilah yang hingga kini disebut Klaten.

Sementara itu, daerah yang dulu ditinggali Kyai Melati dinamai Sekolekan, diambil dari nama panjang Kyai Melati Sekolekan. Namun nama Sekolekan berkembang menjadi Sekalekan. Di dusun Sekalekan pula Kyai Melati dimakamkan.

Kisah tentang Kyai Melati masih kerap diwariskan ke generasi muda. Kyai Melati dikenal sebagai sosok berbudi luhur lagi sakti. Masyarakat percaya, berkat kesaktian Kyai Melati daerah Klaten di masa lalu selalu terhindar dari target perampok.

Meski begitu, hingga saat ini belum ada yang tahu persis bagaimana Klaten berdiri. Selama ini kegiatan peringatan tentang Klaten diambil dari hari jadi pemerintah Kab Klaten, yang dimulai dari awal terbentuknya pemerintahan daerah otonom tahun 1950.

Daerah Kabupaten Klaten semula adalah bekas daerah swapraja Surakarta. Kasunanan Surakarta terdiri dari beberapa daerah yang merupakan suatu kabupaten. Setiap kabupaten terdiri atas beberapa distrik.

Susunan penguasa kabupaten terdiri dari Bupati, Kliwon, Mantri Jaksa, Mantri Kabupaten, Mantri Pembantu, Mantri Distrik, Penghulu, Carik Kabupaten angka 1 dan 2, Lurah Langsik, dan Langsir.

Susunan penguasa Distrik terdiri dari Pamong Distrik (1 orang), Mantri Distrik (5), Carik Kepanawon angka 1 dan 2 (2 orang), Carik Kemanten (5 orang), Kajineman (15 orang).

Pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1749, terjadi perubahan susunan penguasa di Kabupaten dan di Distrik. Untuk Jawa dan Madura, semua provinsi dibagi atas kabupaten-kabupaten, kabupaten terbagi atas distrik-distrik, dan setiap distrik dikepalai oleh seorang wedono.

Pada tahun 1847 bentuk Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Pulisi. Maksud dan tujuan pembentukan Kabupaten Pulisi adalah menjalankan fungsi pemerintahan, menjaga ketertiban dan keamanan dengan ditentukan batas-batas kekuasa wilayahnya.

Berdasarkan Nawala Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senopati Ing Alaga Abdul Rahman Sayidin Panata Gama VII, Senin Legi 23 Jumadilakhir Tahun Dal 1775 atau 5 Juni 1847 dalam bab 13 disebutkan, "Kraton Dalam Surakarta Adiningrat Nganakake Kabupaten cacah enem. Kabupaten cacah enem iku Nagara Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel, lan Sragen".

Artinya, "Kraton Dalam Surakarta Adiningrat membagi enam kabupaten. Enam kabupaten itu adalah Surakarta, Kartosuro, Klaten, Boyolali, Ampel, dan Sragen."

https://sains.kompas.com/read/2019/05/31/200000823/ramai-hashtag-bertemudiklaten-bagaimana-sih-asal-usul-nama-klaten

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke