Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Rebutan 5G antara AS dan China Juga Mengenai Supremasi Militer

KOMPAS.com – Bayangkan sekelompok tentara yang bergerilya di hutan. Mereka bergerak maju dengan jarak satu sama lain hanya beberapa ratus meter. Di pergelangan tangan mereka, sebuah jam tangan pintar menampilkan posisi semua anggota kawanan mereka.

Tentara-tentara ini merasa percaya diri dan aman karena jika tertembak sekali pun pun, jam tangan pintarnya akan bisa langsung mendeteksi, mengeratkan sabuk di area tubuhnya yang terluka, menginjeksikan pertolongan pertama dan mengirimkan peringatan ke tentara lainnya dan tim medis terdekat.

Segera setelahnya, tank tanpa awak akan datang menyusul dan helikopter ambulans datang untuk membantu.

Apa yang Anda baca di atas bukanlah skenario novel fiksi, tetapi teknologi internet of things yang sedang dikembangkan di atas jaringan 5G dan kecerdasan buatan atau AI.

Seperti yang dilaporkan dalam artikel Kompas.com sebelumnya, kekuatan 5G ada pada kecepatannya yang luar biasa, mencapai 20 gigabit per detik.

Orang awam mungkin membayangkannya hanya sebagai waktu download yang jauh lebih singkat. Namun bagi para pakar, kecepatan itu menyimpan potensi yang jauh lebih besar, yaitu internet of things.

Sederhananya, internet of things (IOT) akan memungkinkan komunikasi mesin ke mesin, di mana data dalam jumlah yang luar biasa besar bisa berpindah dari satu mesin ke mesin lain secara real time tanpa intervensi manusia.

Para pakar, seperti peneliti AI dan telekomunikasi dari University of Electronic Science and Technology of China Dr Clark Shu, meyakini bahwa IOT yang didukung oleh 5G akan mengubah cara kita berperang.

“Jaringan 5G dan internet of things memperbesar dan memperdalam kognisi situasi di medan perang hingga beberapa magnitudo dan memproduksi data raksasa, yang membutuhkan AI untuk menganalisisnya dan bahkan memberikan perintah,” ujarnya, seperti dilansir dari South China Morning Post (SCMP), 31 Januari 2019.

Pendapat Shu ini senada dengan laporan yang terbit pada 2017 dalam media militer China, China Defence News.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa peralatan militer yang ditanami alat komunikasi akan bisa membentuk IOT, di mana komunikasi bisa terjadi antar alat dan tanpa membutuhkan satelit, sehingga sumber daya dapat diarahkan ke kebutuhan yang lebih penting dan biaya operasi militer dapat diturunkan.

Inilah sebabnya konflik Amerika Serikat dengan China mengenai 5G dan siapa yang memilikinya bukan sekadar soal nilai ekonominya saja, tetapi juga mengenai supremasi militer negara yang memilikinya.

Baik AS maupun China telah berinvestasi pada pengembangan 5G untuk kebutuhan militer.

Song Zhongping, seorang komentator militer berbasis di Hongkong, menyampaikan kepada SCMP bahwa China telah mengomisikan institusi riset dan perusahaan negara, bukan Huawei, untuk mengembangkan jaringan 5G militer.

“Sebagai contoh, cabang dari China Electronics Technology Group Corporation, yang membuat radar militer dan sistem elektronik lainnya, berfokus pada area ini (5G militer),” ujarnya.

Sementara itu, AS telah meluncurkan prototipe jaringan 5G untuk umum di beberapa kota dan sedang berupaya untuk mengembangkan jaringan 5G militer.

Brent Upson, direktur perusahaan dirgantara dan keamanan Lockheed Martin, bahkan pernah berkata dalam wawancara dengan publikasi teknologi militer C4ISRNET bahwa komunikasi mesin ke mesin yang menggunakan informasi dari berbagai sumber untuk membentuk gambaran medan perang, dan pembuatan keputusan yang dibantu AI akan menjadi tren pada 2019.

Todd Wieser, Chief Technology Officer di Komando Operasi Spesial Angkatan Udara AS, juga pernah berkata bahwa teknologi 5G akan meningkatkan komunikasi angkatannya dan fungsionalitas geospasial.

Kini, yang menjadi hambatan terbesar bagi kedua negara untuk menciptakan jaringan 5G militer yang dapat diandalkan adalah risiko keamanannya. Para pakar telah mengakui bahwa jaringan 5G rentan akan peretasan, pencurian data dan gangguan dari luar.

“Kekurangan terbesar dari jaringan 5G di medan perang adalah kerentanannya terhadap gangguan elektromagnetik – dan peretasan dan intrusi. Peningkatan sensor dan nodus data yang signifikan berati peningkatan paparan dan peningkatan risiko untuk diserang,” ujar Shu.

https://sains.kompas.com/read/2019/05/22/193250323/rebutan-5g-antara-as-dan-china-juga-mengenai-supremasi-militer

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke