Namun, drone masih memiliki kendala untuk mengakses celah-celah sempit karena ukurannya yang relatif besar dan gaya aerodinamiknya yang terbatas.
Untuk mengatasi hal itu, peneliti dari Purdue University mencoba merakit robot terbang kecil yang dapat berperilaku layaknya burung kolibri. Robot kolibri ini juga dilengkapi kecanggihan untuk dapat mempelajari algoritma berdasarkan berbagai teknik yang digunakan burung kolibri secara alami.
Artinya, setelah belajar melalui simulasi, robot dapat mengetahui bagaimana caranya bergerak seperti gerak burung kolibri, seperti kapan melakukan manuver khusus.
Penggunaan organisme model, misalnya burung kolibri, sebagai contoh untuk pengembangan engineering dikenal dengan istilah biomimikri.
Burung kolibri menjadi model pengembangan robot ini karena dapat terbang layaknya burung lain dan memiliki keunggulan dapat melayang di udara secara stasioner seperti lebah.
Jika drone memiliki kombinasi ini, maka ia akan sanggup bermanuver melintasi celah sempit pada bangunan atau struktur lain.
Keberadaan AI (kecerdasan buatan) yang dipadankan dengan sayap yang mampu mengepak secara fleksibel memungkinkan robot untuk mengembangkan berbagai teknik baru.
Meski robot tidak dapat melihat, namun ia dapat merasakan melalui sensor sentuhan. Setiap sentuhan mengubah arus listrik, yang kemudian dapat dikenali robot.
"Robot ini pada dasarnya sanggup menciptakan peta tanpa melihat sekitarnya. Hal ini dapat berguna untuk mengenali objek dalam kondisi gelap, serta mengurangi sensor yang dibutuhkan robot untuk dapat melihat," ujar Xinyan Deng, profesor teknik mesin dari Purdue University, dilansir dari Tech Xplore, Kamis (9/5/2019).
Drone tradisional tidak dapat diperkecil ukurannya, karena mengganggu keseimbangan aerodinamis yang dibutuhkan untuk dapat mengangkat bobotnya sendiri.
Namun, burung kolibri tidak menggunakan aerodinamika konvensional seperti drone, karena sayap mereka yang lenting dan elastis.
"Terapan fisikanya berbeda, aerodinamikanya tidak kaku, dengan sudut kepakan yang tinggi dan daya apung yang besar. Ini memungkinkan keberadaan hewan terbang berukuran kecil, maka kita juga dapat memperkecil ukuran sayap robot ini," jelas Deng.
Deng bersama koleganya mempelajari gerak burung kolibri, termasuk cara melakukan manuver tajam dengan sudut 180 derajat, lalu menerjemahkannya dalam bentuk algoritma komputer agar dapat dipelajari robot melalui simulasi khusus.
Robot ini memiliki badan yang diciptakan melalui printer 3-D, dengan sayap yang terbuat dari serat karbon dan membran. Robot ini berbobot 12 gram, setara dengan burung kolibri dewasa, dan dapat mengangkat beban sebesar 27 gram.
Kemampuan ini dapat memberi ruang bagi penambahan beberapa komponen, seperti baterai dan sensor seperti kamera dan GPS. Untuk saat ini, robot masih membutuhkan kontak langsung dengan sumber energi saat terbang, namun tengah diupayakan agar dapat menggunakan baterai.
Selain digunakan untuk misi pencarian dan penyelamatan, robot kolibri ini juga dapat terbang dan bergerak tanpa mengeluarkan banyak suara, sehingga cocok untuk operasi pengintaian yang tersembunyi.
Studi lanjutkan terkait sifat fisika pada burung kolibri dan serangga dapat memungkinkan para peneliti untuk mengembangkan robot dengan ukuran lebih kecil, tanpa mengorbankan kemampuan terbangnya.
"Semakin kecil ukurannya, maka frekuensi kepakan sayapnya kebih tinggi, dan kemampuan terbangnya lebih efisien," tutup Deng.
https://sains.kompas.com/read/2019/05/19/092414123/gantikan-drone-ahli-ciptakan-robot-kolibri-untuk-misi-penyelamatan