Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hati-hati, Risiko Tuberkulosis Dapat Mengancam Siapa Saja

KOMPAS.com – Indonesia saat ini tercatat menempati urutan ketiga di dunia dalam kasus tuberkulosis terbanyak, yakni sekitar 842.000 kasus per tahunnya. Namun, diperkirakan hanya 442.172 kasus saja yang teridentifikasi.

Sisanya tidak terdiagnosis dan diberikan penanganan medis yang seharusnya.

Hal ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kesadaran dan pengetahuan publik terkait gejala, cara penularan, dan penanganan penyakit tuberkulosis.

Tuberkulosis merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan, terutama paru-paru. Penyakit menular ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan dapat menular via udara.

“Penularan tuberkulosis dapat melalui batuk, bersin, atau berbicara. Berbicara hanya mengeluarkan 0-200 bakteri, sedangkan batuk bisa sampai 3500 bakteri. Bersin paling banyak, bisa sampai 4500 bakteri”, tutur Dr. dr. Erlina Burhan. MSc, Sp.P(K), dokter spesialis paru dan pakar tuberkulosis pada acara siaran pers yang diselenggarakan oeh Johnson & Johnson di Jakarta, Rabu (8/5/2019).

Erlina juga menjelaskan bahwa setiap penderita tuberkulosis dapat menularkan penyakit pada sedikitnya 10 hingga 15 orang per tahun.

Meski demikian, seseorang yang terpapar bakteri Mycobacterium belum tentu langsung terkena tuberkulosis. Bakteri ini dapat memasuki masa dorman (tidak aktif) selama bertahun-tahun.

Bila sistem imun tubuh menurun, maka bakteri akan menjadi aktif dan mulai timbul gejala khas tuberkulosis.

Gejala dan deteksi

“Beberapa tanda dan gejala dari TB pada paru-paru adalah batuk berkepanjangan hingga dua minggu atau lebih, sakit di dada, batuk darah atau berdahak, mudah lelah, penurunan berat badan, tidak nafsu makan, panas dingin, demam, dan berkeringat pada malam hari”, papar Erlina.

Namun, selain paru-paru, tuberkulosis juga dapat menyerang organ lain.

“Sekitar 15 persen kasus TB menyerang organ selain paru, yaitu ke kelenjar getah bening, selaput otak, usus, kulit, tulang, saluran kemih dan reproduksi, juga mata dan tenggorokan”, tambahnya.

Jika gejalanya sudah mulai nampak, maka segera periksakan kondisi anda ke fasilitas kesehatan terdekat.

Penyakit tuberkulosis dapat dideteksi dengan melewati serangkaian tes, antara lain tes sputum (dahak), tes kulit Mantoux, dan tes darah IGRA (interferon gamma release assay).

“Saat ini, obat TB sudah gratis dan bisa didapatkan di seluruh fasilitas kesehatan”, ujar Erlina.

Kendala yang dihadapi

Secara umum, tuberkulosis dapat disembuhkan dengan menjalankan pengobatan yang membutuhkan tingkat disiplin tinggi sesuai arahan dokter. Namun, terkadang sebagian pasien berhenti menggunakan obat dalam jangka waktu tertentu karena sudah merasa baikan.

Hal ini dapat memicu perkembangan penyakit menjadi Multi-Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB).

“MDR-TB adalah suatu kondisi dimana pasien resisten terhadap minimal dua obat paling ampuh, yaitu isoniazid dan rifampisin atau obat anti TB lini pertama lainnya seperti etambutol, streptomisin, dan pirazinami. Sehingga pasien MDR-TB akan membutuhkan pengobatan dengan dosis yang lebih tinggi”, ungkapnya.

Selain tingkat kepatuhan pasien, hal lain yang juga menjadi kendala adalah kurangnya edukasi atau komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien, juga masih adanya stigma terhadap penderita tuberkulosis.

“Hal yang paling tidak mengenakkan sebagai seorang pasien adalah stigma, baik dari lingkungan sekitar, maupun dari dalam diri sendiri”, ujar Paran Sarimita, mantan penderita tuberkulosis yang saat ini telah sembuh total.

Paran juga menjelaskan kesulitan untuk tidur dan beraktivitas normal kala masih menderita tuberkulosis. Sebelumya, Paran didiagnosa menderita MDR-TB, sehingga membutuhkan perawatan dan konsumsi obat dalam jangka waktu sangat panjang.

“Waktu itu berat badan saya hanya 36 kg, jadi butuh 15 pil obat setiap harinya”, jelasnya.

Penyakit ini mempertemukan Paran dengan komunitas penderita tuberkulosis lain, yang kemudian memberikan dukungan moral dan informasi yang dibutuhkan untuk menghadapi penyakit ini.

“Support itu dibutuhkan banget, karena gak ada lagi yang bisa mengerti kita selain sesama”, ujarnya.

Pencegahan

Meski tuberkulosis dapat menyerang siapa saja, namun hanya orang dengan ketahanan tubuh yang sedang lemah saja yang dapat mengembangkan gejalanya.

Untuk itu, Erlina menyarankan pembiasaan gaya hidup sehat sebagai benteng pertahanan pertama terhadap bakteri tuberkulosis.

Pola hidup sehat ini antara lain termasuk makan bergizi dan seimbang, istirahat cukup, tidak merokok, menjemur kasur atau alas tidur lain agar tidak lembab, dan membuka pintu atau jendela pagi dan sore sehingga ventilasi ruangan lancar.

Khusus untuk rokok, Erlina menekankan bahwa meski rokok tidak menimbulkan tuberkulosis, namun ia dapat meningkatkan risiko infeksi oleh bakteri tersebut.

“Satu batang rokok akan melumpuhkan silia (rambut getar) di saluran napas yang berfungsi untuk mengusir kuman keluar tubuh”, terang Erlina.

Selain pembiasaan pola hidup sehat, saat ini pemerintah dan berbagai instansi lain tengah mengupayakan penyebaran informasi terkait tuberkulosis. Hal ini diharapkan dapat memberikan edukasi pada masyarakat demi tercapainya target 2050 Indonesia bebas tuberkulosis.

https://sains.kompas.com/read/2019/05/09/180800723/hati-hati-risiko-tuberkulosis-dapat-mengancam-siapa-saja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke