KOMPAS.com – Awal Mei, saya berkesempatan menjelajahi Hutan Batang Toru atau yang lebih dikenal dengan Harangan Tapanuli.
Bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), saya menjelajag=hi hutan itu selama 4 hari untuk berjumpa dengan kera besar terlangka: orangutan Tapanuli.
Perjalanan bermula dari Desa Es Kalangan II, Tapanuli Tengah, yang kami datangi dengan menggunakan mobil pick-up milik YEL dari kantornya di Kota Pandan, dengan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam melewati jalanan yang belum beraspal dan berliku tajam.
Perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki melewati perkebunan karet dan aren milik warga setempat di perbatasan hutan. Terdapat beberapa persawahan yang dikelilingi bukit kecil di sekitarnya.
Hutan Batang Toru adalah bentang hutan yang melintasi tiga kabupaten di Sumatera Utara, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Hutan ini memiliki curah hujan yang tinggi, sehingga jalur penelusuran yang perlu dilintasi sangat sulit untuk dilalui, terutama karena sifatnya yang basah, dipenuhi lumpur dan tanah liat.
Medan yang dilintasi juga terbilang terjal dan menanjak, meski bukan berupa gunung.
Kami sangat tertolong dengan keberadaan para porter perkasa yang bertugas untuk membawakan barang keluar-masuk hutan. Mereka sanggup membawa barang seberat 30 kg sambil berjalan menembus hutan dengan sangat cepat, sembari sesekali menenggak tuak yang mereka bawa dari desa tempat mereka tinggal.
Sepanjang perjalanan, saya sesekali berhenti untuk menghela napas, mengisi air minum di mata air terdekat, dan membersihkan sepatu boots karet dari lumpur yang menempel. Meski sebelumnya terbiasa memasuki hutan, namun medan ini saya kira membutuhkan stamina lebih dan persiapan fisik yang matang untuk ditaklukkan.
Untungnya di dalam hutan terdapat spot yang cukup landai, yaitu spot penjaringan dan meranti, yang menjadi lokasi kami menghabiskan makan siang dan beristirahat sejenak.
Hutan seluas kurang lebih 150.000 hektar ini menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar terlangka yang baru diresmikan sebagai spesies baru pada tahun 2017 lalu.
Selain orangutan, terdapat banyak hewan lain yang juga tercatat sebagai spesies rentan dalam daftar IUCN, antara lain harimau sumatera, tapir, trenggiling, gibbon, siamang, binturong, beruang malaya, dan lain-lain.
Kamp Mayang
Setelah menghasbiskan enam jam berjalan kaki dari desa, sampailah kami di Camp Mayang. Kamp yang berlokasi di tengah hutan ini merupakan stasiun monitoring yang dikelola oleh YEL dan SOCP.
Kamp yang didirikan sejak tahun 2006 ini terdiri dari lima bangunan pondokan tripleks, ditutupi daun rumbia kering dan terpal berwarna biru. Salah satu pondokannya digunakan sebagai ruang rapat dan koordinasi.
Terdapat pula dapur umum serta dua bilik di tepi sungai yang dipergunakan sebagai ruangan mandi dan toilet.
Di kamp ini, peneliti melakukan monitoring orangutan tapanuli, pemantauan fauna via camera trap, pengamatan fenologi (pengamatan pengaruh ilkim dan lingkungan), serta pemetaan melalui pengindraan jauh.
“Pengamatan orangutan yang dilakukan disini termasuk perilakunya, khususnya induk dan anaknya”, ujar Sheila Kharismadewi Silitonga, Koordinator Riset Camp Mayang.
Monitoring orangutan dilakukan dengan mengikuti individu yang sebelumnya sudah pernah ditemui. Diantaranya, terdapat beberapa yang sangat sering dijumpai dan bahkan diberi nama khusus, seperti Betta, Bintang, dan Pixel.
Pada pagi hari, suasana camp diwarnai oleh lulungan dan teriakan berbagai primata, termasuk gibbon dan siamang. Bahkan suara panggilan orangutan pun sayup-sayup dapat terdengar.
“Orangutan pernah ada yang bersarang di sekitar camp, tapi itu pun tidak lama dan sekarang jarang keliatan di sekitar sini”, tambahnya.
Di hutan, saya menanti kesempatan untuk bertemu orangutan langka itu. Ketika ada ranting pohon yang bergoyang dan menimbulkan suara keras, saya menengadah dan mencari-cari wajah sang orangutan dengan binokuler.
Sayang, berhari-hari mencari, saya tidak menemukan satu pun orangutan Tapanuli. Begitu pula primata lainnya, seperti siamang dan gibbon, meski suaranya dapat saya dengar dari kejauhan.
Peneliti mengungkapkan, primata yang hidup di pepohonan dengan ketinggian hingga 15 meter itu bisa mudah dijumpai saat musim buah. Saat saya datang, musim buah sudah lewat sehingga orangutan pun sulit dijumpai.
Saya mengikuti tim peneliti melakukan monitoring. Sayangnya, dalam kegiatan itu, saya juga tak bertemu dengan orangutan Tapanuli. Saya harus puas mendengarkan suaranya saja setiap pagi.
Pesona Air Terjun Bulu Boltak
Harangan Tapanuli juga memiliki banyak spesies flora langka, misalnya Balanophora, tumbuhan parasit yang belum banyak dipelajari, serta berbagai buah-buahan hutan.
Tidak jauh dari lokasi Camp Mayang, terdapat Air Terjun Bulu Boltak. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 20 meter, dan mengisi sebuah kolam air berkedalaman sekitar 12 meter di bawahnya.
Area sekitar air terjun dikelilingi oleh batuan berlumut yang licin dan dikerumuni hamparan tumbuhan pakis liar. Saya beberapa kali terpeleset, meski sudah sangat berhati-hati.
Jhon Ferry Manurung, Staf Pengindraan Yayasan Ekosistem Lestari, mengatakan bahwa Air Terjun Bulu Boltak merupakan salah satu pemasok cadangan air untuk PLTA Sihaporas.
Akses menuju air terjun ini dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari camp.
Meski berjarak relatif dekat, namun jalur menuju air terjun sangat sulit dilalui dengan kemiringan lereng yang terbilang curam, dilengkapi oleh perakaran pohon yang membelit, batuan kecil yang tajam, serta tekstur tanah liat yang lengket dan licin.
Kondisi ini turut berperan dalam menjaga kondisi air terjun agar tetap asri dan tidak banyak terjamah manusia.
Lingkungan hutan yang terjaga dengan baik salah satunya disebabkan oleh perilaku masyarakat sekitar yang menjaga hutan tersebut.
Masyarakat Desa Es Kalangan II kebanyakan mengandalkan perkebunan karet, kopi, coklat dan aren sebagai bahan dasar tuak sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian lagi juga menanam padi untuk keperluan konsumsi pribadi.
Beberapa penduduk juga memiliki kebun buah, terutama mangga dan durian, yang mereka pasarkan ke kota terdekat, seperti Pandan dan Sibolga.
Mereka mengandalkan aliran sungai-sungai kecil di sekitar hutan untuk irigasi perkebunan yang mereka miliki.
Selain itu, terdapat ikatan emosional tersendiri dengan hutan Batang Toru, yang menghubungkan desa mereka dengan Tapanuli Utara, yang menurut penuturan mereka sendiri, merupakan tanah leluhur mereka sejak sebelum masuknya koloni Belanda.
“Ada tugu (patok) batunya itu, dulu hutan ini masuk kawasan Tapteng, dari nenek moyang dulu-dulu," ujar Bang Gabe, warga desa yang juga menjadi porter pembawa barang untuk YEL.
Pria humoris yang akrab disapa Ayah Lena ini juga menuturkan bahwa jika hutan terganggu, maka masyarakat setempatlah yang bertanggung jawab atasnya, dan akan mendapat gangguan balasan dari alam.
“Kalau harimau sampai masuk ke desa-desa ini, artinya ada warga yang punya dosa, berbuat kesalahan apa itu dia, jadi harimau pun minta tumbal," tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/05/07/193000223/menelusuri-hutan-batang-toru-mencari-sosok-orangutan-tapanuli