KOMPAS.com - Kemeriahan film Avenger: Endgame pada minggu perdana tayang di Indonesia ini terasa sangat semarak. Bahkan, beberapa bioskop melakukan penayangan selama 24 jam.
Sama seperti film lain, kisah tentang superhero ini juga harus melawan bocoran atau spoiler. Bahkan, pada pemutaran perdananya di Los Angeles muncul kampanye untuk tidak membocorkan jalan cerita film tersebut.
Ya, spoiler sering dipandang buruk bagi banyak orang. Bocoran tersebut dianggap sebagai "perusak" kenikmatan menonton.
Namun, benarkah demikian?
Spoiler adalah Bantuan
Jika banyak orang menganggap spoiler adalah pengalaman buruk, maka pendapat berbeda diungkapkan oleh penelitian dalam jurnal Psychological Science.
Penelitian itu menunjukkan bahwa mengetahui akhir dari sebuah cerita sebelum Anda menyaksikan atau membaca sendiri sebenarnya tidak merusak pengalaman cerita tersebut.
Para peneliti menyebut hal ini sebagai "spoiler paradox".
Melansir dari laporan Psychology Today tahun 2011, hasil tersebut didapatkan oleh Nicholas Christenfeld dan Jonathan Leavitt dari University of California, departemen psikologi San Diego dengan melakukan tiga percobaan menggunakan 12 cerita pendek.
Percobaan pertama, para peserta diberikan spoiler atau bocoran tentang akhir kisah sebelum diizinkan membaca. Pada percobaan kedua, spoiler dimasukkan sebagai paragraf pembuka cerita.
Percobaan ketiga adalah tidak memberikan para peserta bocoran cerita.
Hasil temuan menunjukkan bahwa para peserta lebih menyukai cerita ketika telah mendapatkan spoiler dibandingkan yang tidak. Bahkan, mereka lebih suka ketik bocoran keseluruhan kisah dimasukkan sebagai teks penngantar dalam cerita.
Temuan ini mungkin membuat Anda terheran-heran dan bertanya kok bisa seperti ini, bagaimana logikannya?
Mari kita memutar waktu ke tahun 1944 untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada 1944, Fritz Heider dan Mary-Ann Simmel dari Smith College melakukan penelitian yang sederhana namun kuat.
Para peneliti menunjukkan kepada para peserta animasi dua segitiga dan sebuah lingkaran bergerak mengelilingi sebuah kotak. Saat menonton animasi tersebut, sangat sulit untuk tidak menambahkan dialog Anda sendiri untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Sebagian besar peserta menggambarkan bahwa lingkaran dan segitiga biru sebagai orang yang jatuh cinta dan segitiga berwarna abu-abu sebagai orang yang berusaha menghalangi.
Para peserta menggunakan narasi yang menggambarkan tindakan dan adegan dalam animasi itu seperti benda yang memiliki niat dan motivasi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa manusia punya naluri dasar untuk mendongeng atau bercerita.
Bagi manusia, bercerita menjadi alat penting untuk memahami perilaku manusia lain dan mengomunikasikan pemahaman kita terhadap orang lain.
Menurut penulis psikologi Adoree Durayappah, hal tersebut berhubungan dengan teori pikiran.
"Memiliki teori pikiran berarti kita memiliki kemampuan untuk menghubungkan pikiran, keinginan, motivasi, dan niat orang lain, dan kita menggunakan ini untuk memprediksi dan menjelaskan tindakan dan perilaku orang lain," tulis Durayappah.
"Karena kita memiliki kemampuan untuk mengaitkan niat kepada orang lain dan memahami bagaimana niat itu dapat menyebabkan perilaku, cerita menjadi penting karena memungkinkan kita untuk mengomunikasikan sebab dan akibat hubungan ini," imbuhnya.
Duryappah menilah hal ini penting untuk diingat karena berarti cerita itu baik jika memenuhi fungsinya: menyampaikan informasi secara efektif kepada orang lain.
Hal ini pula yang menjadi sebab mengapa spoiler sebenarnya justru membuat cerita lebih menarik. Apalagi, biasanya, bocoran cerita film lebih mudah dipahami dan diikuti dibanding ketika seseorang harus memahami cerita itu sendiri.
"Jadi, bisa jadi begitu Anda tahu bagaimana spoiler cerita, itu secara kognitif lebih mudah. Dengan kata lain Anda lebih nyaman memproses informasi dan dapat fokus pada pemahaman yang lebih dalam tentang cerita," kata Leavitt, salah satu peneliti yang terlibat dalam studi ini.
Spoiler Sangat Mengerikan
Namun tak semua sependapat dengan hasil temuan di atas. Buktinya, beberapa orang tetap menganggap spoiler adalah sebuah "kejahatan" yang sangat mengerikan.
Hal ini diungkapkan oleh penulis Jennifer Richler dalam artikelnya di The Atlantic 2013 lalu.
Richler melihat beberapa penelitian yang mendukung pendapatnya itu. Salah satunya berasal dari Paul Bloom, profesor psikologi Yale.
Dalam bukunya yang berjudul How Pleasure Works, Bloom menyebut bahwa sesungguhnya kita (manusia) sangat membingungkan. Pasalnya, manusia lebih suka menghabiskan waktu luang dengan menjelajahi dunia fiksi dengan membaca, menonton TV atau film, dan bermain video game dibanding terlibat dalam hiburan di dunia nyata.
Dengan kata lain, manusia punya obsesi besar dengan khayalan. Bloom berpendapat, pada tingkat tertentu, kita akan sulit membedakan fakta dan fiksi.
Misalnya saja ketika melihat kue yang dibentuk seperti tinja dan membuat orang menolak memakannya meskipun tahu bahwa itu hanya kue. Contoh itu menunjukkan bahwa penampilan dan kenyataan menjadi sangat kabur.
Thalia Goldstein, profesor psikologi di Pace University, mengatakan bahwa kekaburan konsep tersebut terjadi pada tingkat neurologis. Saat itu, bagian otak yang sadar memberi tahu kita bahwa sebuah cerita tidak nyata tapi sebagian lagi berpikir sebaliknya.
Inilah mengapa spoiler menjadi sangat mengerikan. Pasalnya, bocoran kisah akan mengingatkan kita bahwa sebuah cerita hanyalah sebuah cerita.
Jika sudah tahu bagaimana sebuah cerita akan berakhir, maka kesenangan kita akan menguap.
Terlebih, kadang-kadang, kesenangan terhadap sesuatu akan terasa lebih besar ketika proses menunggu. Itulah mengapa orang lebih suka menunda makan di suatu tempat tertentu pada momen spesial meskipun bisa dilakukan kapan saja.
Terlepas dari dua pendapat di atas, banyak dari kita yang menunggu untuk bisa segera menonton film Avenger: Endgame. Lalu, apakah Anda tim perlu bocoran atau anti-spoiler?
https://sains.kompas.com/read/2019/04/26/183300923/avenger-endgame-apakah-spoiler-sebuah-bantuan-atau-kejahatan