KOMPAS.com – Vaksin merupakan senjata terkuat dalam memerangi penyebaran penyakit sekaligus perisai pertahanan diri yang melindungi umat manusia dari wabah sejak penemuannya. Alhasil, vaksin telah menyelamatkan sedikitnya jutaan orang tiap tahunnya.
Meski demikian, belakangan mulai bermunculan gerakan orangtua yang menolak pemberian vaksin pada anaknya atas berbagai alasan yang berbeda. Mengapa bisa demikian?
Untuk menjawab hal tersebut, Matthew Motta, peneliti ilmu politik dari University of Pennsylvania melakukan studi terkait komunikasi sains dan kebijakan publik yang lahir dari penolakan publik terhadap sains.
Studi ini dilakukan dengan menggunakan survei terhadap 1.310 orang dewasa di Amerika Serikat perihal wawasan mereka mengenai autisme. Motta juga menanyakan bagaimana perasaan mereka terhadap pemerintah yang mewajibkan pemberian vaksin pada anak-anak.
Lebih dari sepertiga orang yang disurvei mengklaim bahwa mereka lebih tahu mengenai penyebab autisme dibandingkan ilmuwan atau dokter.
Faktanya justru adalah kebalikannya. Orang yang merasa lebih kompeten dibanding para ahli dan profesional justru secara umum adalah orang dengan tingkat pengetahuan paling rendah.
Rasa kepercayaan diri yang paling tinggi dimiliki oleh orang yang menentang vaksinasi.
“Dunning-Kruger Effect dapat membantu menjelaskan hasil ini,” jelas Motta, seperti yang dilansir dari Science News, Kamis (4/4/2019).
Dunning-Kruger Effect pada dasarnya mengatakan bahwa rasa percaya diri berbanding terbalik dengan tingkat kompetensi dan kredibilitas seseorang, atau sesuai dengan peribahasa lokal “Tong kosong nyaring bunyinya.”
Dengan kata lain, orang yang tidak menyadari bahwa mereka tidak tahu apa-apa seringkali memiliki kepercayaan bahwa dirinya yang paling tahu.
Motta juga memiliki temuan lain. Orang dengan rasa percaya diri tinggi cenderung berpikir bahwa selebriti seharusnya memiliki pengaruh terhadap kebijakan publik terkait vaksin.
Mereka beranggapan bahwa para selebriti yang mereka kenal dapat dipercaya dan kredibel sebagai sumber informasi publik.
“Studi ini sangat relevan untuk area lain di mana banyak terdapat skeptisisme atau misinformasi tentang fakta ilmiah, seperti perubahan iklim atau bioteknologi,” ujar Salil Benegal, ahli ilmu politik dari DePauw University yang mengomentari studi tersebut.
Benegal juga mengkritisi tindakan beberapa media yang menciptakan ruang bagi para penolak fakta sains ini sebagai bagian dari bentuk “cover both sides" (dua sisi).
“Sains selalu berbicara mengenai fakta. Dan kepercayaan pribadi seseorang tidak dapat mengubah fakta tersebut,” tutupnya.
Studi ini dipublikasikan di jurnal Social Science & Medicine.
https://sains.kompas.com/read/2019/04/24/200600123/studi-jelaskan-mengapa-ada-orangtua-yang-mati-matian-menolak-vaksin