Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Skandal Temuan Wakefield dan Dampaknya Bagi Kegagalan Vaksin Global

Vaccine hesitancy bisa disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap perawatan kesehatan, ketidaknyamanan dalam mengakses vaksin, atau rendahnya kepercayaan terhadap vaksin itu sendiri.

Meski terdapat banyak bukti ilmiah tentang keamanan vaksin dan ahli medis di seluruh dunia menegaskan bahwa vaksin efektif mencegah virus penyakit, tapi sejumlah orang tetap memegang keyakinan bahwa vaksin berbahaya dan justru dapat menimbulkan masalah lain seperti autisme.

Lantas, dari mana pemahaman itu muncul dan meluas?

Melansir Healio edisi Februari 2011, ketakutan akan vaksinasi meluas setelah  penelitian dokter spesialis bedah Andrew Wakefield terbit di jurnal Lancet pada 1998.

Dengan melibatkan 18 sampel, Wakefield mengklaim bahwa vaksin campak, gondong, dan rubella (MMR) menyebabkan 12 anak mengembangkan gejala autis.

Atas kesimpulan tersebut, terang saja studi Wakefield segera menimbulkan kontroversi di kalangan orangtua dan dokter.

12 tahun kemudian hasil penelitian Wakefield dicabut dari jurnal ilmiah karena terbukti "palsu". Meski begitu, kepercayaan yang sudah tertanam pada sebagian orang tidak bisa dilepas begitu saja.

Studi yang dirilis British Medical Journal (BMJ) dengan judul "Secrets of the MMR scare: How the case against the MMR vaccine was fixed" mengungkap bahwa studi Wakefield tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Mereka menemukan data yang dipakai Wakefield palsu.

Studi BMJ mencoba memaparkan bagaimana Wakefield melakukan penipuan ilmiah. Para ilmuwan yang terlibat dalam studi ini melakukan investigasi dengan wawancara serta mengulas dokumen dan data yang dipublikasikan di sidang General Medical Council (GMC).

Dari situ, tim ahli menemukan bahwa ada kejanggalan dari apa yang disampaikan Wakefield. Hal yang paling parah, Wakefield mengubah riwayat medis pasien untuk mendukung klaimnya.

"Studi kami juga memberi bukti bahwa institusi Wakefield, Royal Free Hospital dan Medical School London, ikut mendukung aksi Wakefield dalam mengacaukan fungsi vaksin MMR demi keuntungan finansial," tulis laporan di BMJ.

Dalam laporan di BMJ, para ahli menemukan bahwa hanya ada satu anak dengan autisme regresif, sementara sisanya normal.

Dampak penemuan Wakefield

Dampak anti vaksinasi yang berkembang di seluruh dunia ini tentu mengancam kemajuan dunia kesehatan. Penyakit yang seharusnya bisa diberantas atau dicegah, termasuk penyakit yang mengancam jiwa, bisa jadi tak tertanggulangi.

Sejak pergantian abad, vaksin campak telah menyelamatkan lebih dari 21 juta jiwa, mengurangi angka kematian global hingga 80 persen hanya dalam 17 tahun. Namun, sekarang kita justru berlari ke arah yang berlawanan.

Sebuah survei yang dirilis tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa kepercayaan Amerika terhadap vaksin merosot ke tingkat yang rendah. Pro-kontra soal pemberian vaksin ini juga terjadi di Indonesia.

Dalam pemberitaan Kompas.com edisi (20/1/2019) memaparkan tentang laporan tahun 2017 yang menunjukkan jumlah kasus campak meningkat lebih dari 30 persen di seluruh dunia. Padahal, penyakit menular ini mudah dicegah dengan dua dosis vaksin.

Laju gerakan anti vaksinasi ini memang jadi tantangan. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat WHO untuk menghilangkan penyakit-penyakit yang bisa dicegah melalui vaksinasi.

Pada 2019 ini, WHO bertekad untuk menekan angka pasien kanker serviks di seluruh dunia dengan meningkatkan cakupan vaksin HPV. WHO juga berjanji akan menghentikan penyebaran virus polio di Afghanistan dan Pakistan.

"Petugas kesehatan yang berada di masyarakat harus didukung untuk memberikan informasi vaksin yang terpercaya," sebut laporan itu lagi.

Daftar tantangan kesehatan 2019 ini telah dipublikasikan secara daring oleh Organisasi Kesehatan Dunia.

https://sains.kompas.com/read/2019/04/24/161038223/skandal-temuan-wakefield-dan-dampaknya-bagi-kegagalan-vaksin-global

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke