KOMPAS.com – Indonesia sejak dahulu kala telah dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam tinggi. Hal ini pula yang menjadi pemicu awal ketertarikan berbagai ilmuwan, khususnya naturalis dan ahli botani, untuk datang ke Hindia Belanda.
Dalam perjalanannya, para ilmuwan ini dianggap sebagai “apostel” pembawa semangat aufklarung (pencerahan) dari Eropa ke Indonesia. Namun kemudian, para apostel ini dipekerjakan oleh pemerintahan kolonial untuk membantu eksploitasi sumber daya alam, terutama untuk komoditas botani seperti teh, kina, kopi, dan karet.
Dalam perkembangannya, para apostel terbagi menjadi dua kubu, yaitu apostel naturalis yang ingin mencerdaskan masyarakat sipil lokal sebagai bentuk politik etis, serta apostel yang bekerja demi kepentingan pemerintahan kolonial.
Hal ini melahirkan istilah floracrats, gabungan antara “flora” dengan “bureaucrats.”
Riyawat perjalanan para apostel serta peranan birokrasi dan kepentingan negara dari era kolonial Hindia Belanda hingga masa Orde Baru ini merupakan bahasan utama dari buku Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan karya Andrew Goss.
Secara umum, buku ini menceritakan kegagalan para apostel membawa misi pencerahan melalui ilmu pengetahuan yang universal dan objektif untuk menjadi dasar pemikiran masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia.
“Buku ini merupakan buku sejarah yang dapat diambil aspirasi dan inspirasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan kita”, ujar JJ Rizal, sejarawan sekaligus ketua Komunitas Bambu, dalam diskusi bedah buku di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Prof. Herawati Sudoyo, peneliti Eijkman Institute yang hadir dalam diskusi menjelaskan bahwa buku ini menceritakan sejarah pemanfaatan ilmu pengetahuan di Indonesia untuk kepentingan masyarakat, terutama dari segi ekonomi uamh dilakukan oleh peneliti amatir dan kemudian menjadi birokrat negara.
Buku ini disusun secara komprehensif dan menilik setiap periode tertentu dalam riwayat Hindia Belanda hingga Indonesia. Namun, bukan berarti buku ini tidak memiliki kritik.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid yang turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut memaparkan kritiknya, bahwa Goss tidak mempertimbangkan perbedaan kapitalisme Eropa yang bangkit dari independensi pemilik kapital dengan kapitalisme Indonesia yang justru dihadirkan lewat kepentingan negara.
Hilmar juga mengkritisi tidak adanya pembahasan mengenai keterlibatan orang lokal dalam perkembangan botani, khususnya terkait studi etnobotani dalam buku tersebut.
Kritikan lain juga disampaikan oleh Prof. Sangkot Marzuki dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonsia (AIPI), yakni buku tersebut tidak mengilustrasikan kondisi Indonesia di masa Hindia Belanda secara kontekstual, serta perbandingan yang tidak setara antara perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia dan Australia.
Sangkot juga menyayangkan tidak adanya penelaahan mengenai perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran pada masa pra dan awal kemerdekaan yang sangat pesat, juga mengenai peranan para pengajar STOVIA asal Belanda di dalam pembentukan karakter intelektual awal Indonesia.
Hal lain yang juga kurang dibahas adalah transisi intelektual dari Orde Lama ke Orde Baru, yang diwarnai dengan diskriminasi etnis, rasial, dan nasionalisme sehingga terdapat “generasi intelektual” yang hilang.
“Ini menjadi semacam narasi yang hilang dan kita belum tahu persis bagaimana keadaan pada masa itu. Mungkin perlu dicari bagaimana dan kemana generasi intelektual yang hilang dari Indonesia,” ujarnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/04/23/190600523/riwayat-ilmu-di-indonesia-dalam-belenggu-ilmuwan-ilmu-pengetahuan-