KOMPAS.com – Hampir beberapa tahun terakhir, ekosistem internet di Indonesia selalu ramai dan gaduh.
Entah itu menyangkut perbedaan politik, konflik antarselebritas, maupun isu-isu sosial yang kerap memunculkan tagar-tagar baru, yang kemudian viral dan mengundang reaksi dari seantero warganet.
Apa sebenarnya yang menyebabkan warganet begitu reaktif dan vokal dalam menyuarakan opininya?
John Suler, Profesor Psikologi dari Rider University, mencoba menganalisis penyebabnya.
Melalui risetnya yang dipublikasikan di jurnal Cyberpsychology & Behavior, Suler mendefinisikan fenomena yang disebut efek disinhibisi online (online disinhibition effect).
Efek disinhibisi online adalah ketiadaan batasan saat seseorang berkomunikasi secara online, terutama jika dibandingkan dengan komunikasi langsung.
Hal ini membentuk persepsi bahwa orang tersebut tidak memiliki konsekuensi atas ucapannya di dunia maya, sehingga bebas berkata apa saja.
Faktor penyebab disinhibisi online
Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan lenyapnya batasan dalam komunikasi online, antara lain adalah:
1. Anonimitas
Di internet, seseorang bebas membuat dan menggunakan akun anonim yang berlainan dengan identitas aslinya di dunia nyata.
Dengan penggunaan "akun palsu" ini, seseorang akan merasa terlindungi dan tidak perlu mempertanggungjawabkan perkataannya, sehingga bebas berpendapat apa saja.
2. Invisibilitas
Komunikasi di internet sebagian besar menggunakan teks, sehingga pemakai internet tidak perlu menampilkan fisik atau wajahnya.
Tingkat kepercayaan diri seseorang dapat meningkat karena tidak perlu memperhatikan aspek suara, kefasihan, intonasi, dan bahasa tubuh.
Pengguna internet juga dapat bermain peran, dengan mengklaim identitas orang lain, memiliki kepribadian yang berbeda, atau mengaku berjenis kelamin lain.
3. Asinkronisitas
Komunikasi dalam internet tidak bersifat real time. Seseorang dapat begitu saja menghilang setelah menuliskan opininya kapan saja, atau bahkan menghapus akun pribadinya.
Di sisi lain, komunikasi tidak langsung ini juga dapat menyediakan waktu untuk mencerna dan memikirkan sesuatu yang akan disampaikan di internet.
4. Introjeksi solipsistik
Tanpa adanya ekspresi, mimik muka, gestur, maupun bahasa tubuh lain, seorang pembaca dapat mempersepsikan tulisan seseorang dengan interpretasi yang beragam.
Sebuah tulisan sederhana dapat dianggap sebagai ancaman, sindiran, pujian, sarkasme, ataupun dukungan tanpa dapat diketahui secara persis maksud asli dari penulisnya.
Hal ini dapat memancing respon dan reaksi yang beragam pula.
5. Imajinasi disosiatif
Banyak orang menganggap bahwa dunia maya terpisah dengan dunia nyata, dalam artian, perilakunya di internet tidak memiliki konsekuensi secara nyata.
Orang dengan pandangan seperti ini mempersepsikan internet sebagai game, dimana aturan yang berlaku di dalamnya sama sekali berbeda.
6. Kesetaraan sosial di internet
Di hadapan internet, semua orang memiliki posisi yang sama, tanpa memandang profesi, otoritas, status, tingkat sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Semua orang bebas menyuarakan pendapatnya, dan semua orang menganggap bahwa pendapatnya benar.
Tidak ada validitas lebih berdasarkan kompetensi atau kredibilitas, jika seseorang tidak setuju akan sesuatu, maka akan diabaikannya begitu saja, atau bahkan membuat narasi tandingan.
Meski sekilas fenomena ini bertanggungjawab atas segala keributan di dunia maya, namun efek disinhibisi online ini juga memiliki banyak manfaat.
Dengan adanya disinhibitas online, seseorang yang memiliki masalah komunikasi dapat menyampaikan perasaannya secara bebas, tanpa ada tekanan sosial.
Fenomena ini juga dapat mendorong tumbuhnya rasa percaya diri serta mennunjang kebebasan berpendapat, asalkan disertai kesadaran akan literasi digital serta tetap menaati norma dan etika yang berlaku.
https://sains.kompas.com/read/2019/04/16/120600023/efek-disinhibisi-online-alasan-di-balik-netizen-maha-benar