“Tiap satu tahun hidup di daerah urban, berat badan individu bertambah sekitar 0,15 kilogram”, jelas dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD, salah satu pembicara pada seminar “Obesitas dan Diabetes”.
Banyaknya aplikasi yang memudahkan pemilihan, pemesanan, dan pengantaran makanan adalah salah satu sebab.
Sebab lain, orang kota lebih malas bergerak. Transportasi selalu mengandalkan kendaraan bermotor.
Selain itu, aktivitas fisik orang juga juga terbatas. Ruang terbuka minim baik untuk anak maupun dewasa. Ketika ada waktu luang, orang kota menghabiskan waktu untuk duduk.
Faktor terakhir yang tak disadari, kata Dicky, adalah tingkat stress tinggi masyarakat kota. Kesehatan mental menurun dan akhirnya berdampak pada metabolisme.
Kombinasi seluruh faktor tersebut menyebabkan ketidakseimbangan neraca energi, dimana kalori yang masuk lebih besar dibanding kalori yang terbuang.
Dr. dr. Aman B. Pulungan yang juga dari UI mengatakan, obesitas juga terjadi lantaran manusia kurang bisa menyesuaikan porsi makan dengan kehidupan modernnya.
Penyimpanan lemak dalam tubuh sebenarnya berguna sebagai cadangan energi yang dapat digunakan di kala paceklik. Namun di era modern seperti sekarang ini, angka kelaparan sangat rendah, serta persediaan makanan yang mudah didapat menjadikan melimpahnya cadangan lemak yang tidak digunakan tubuh.
"Kita mewarisi nafsu makan dari para pendahulu kita, yang selama ribuan tahun mengalami kelangkaan pangan sehingga terjadi seleksi gen untuk itu" papar Dr. dr. Aman B. Pulungan, yang juga hadir sebagai pembicara.
Aman menjelaskan bahwa dahulu, simpanan lemak merupakan modal bertahan hidup, sehingga gen untuk nafsu makan tinggi bersifat menguntungkan.
Namun, dengan adanya kelebihan pangan selama satu abad terakhir, hal ini menjadi bumerang, terutama bagi masyarakat perkotaan dengan pilihan makanan yang melimpah serta akses yang mudah.
Kondisi ini dikenal dengan istilah "thrifty gene hypothesis".
Karena manusia kota tak bisa beradaptasi, maka terjadilah kegemukan.
Mendeteksi potensi obesitas
Saat ini, sekitar 35 persen dari total populasi Indonesia mengalami obesitas. Artinya, satu dari tiga orang Indonesia memiliki penumpukan lemak berlebih.
Secara umum, obesitas ditandai dengan adanya akumulasi lemak berlebih sehingga dapat mengganggu kesehatan individu.
Terdapat dua cara untuk mendeteksi obesitas dengan mudah.
Pertama, obesitas dapat diketahui dengan menghitung body mass index (BMI), yaitu perbandingan antara berat badan (dalam kg) per kuadrat tinggi badan (dalam cm). Obesitas dialami oleh individu dengan BMI diatas 25.
Cara kedua adalah dengan mengukur lingkar perut melewati pusar. Pada pria, obesitas terjadi jika lingkar perut melebihi 90 sentimeter, sedangkan untuk wanita 80 sentimeter.
Metode dengan menggunakan pengukuran lingkar perut ini lebih dikhususkan untuk mengukur obesitas sentral.
Obesitas merupakan permasalahan yang kompleks, yang melibatkan banyak faktor tidak langsung yang sebenarnya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Faktor tidak langsung ini antara lain meliputi sistem pendidikan yang buruk, akses pelayanan kesehatan yang terkendala, lingkungan tidak sehat, pangan yang tidak terjamin, serta kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas dan pola makan anak.
Jika tidak ditangani, obesitas dapat memicu munculnya banyak penyakit lain, diantaranya dementia, stroke, gangguan pernapasan, diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, asam urat, arthritis, batu empedu, kanker, dan gagal jantung.
Dokter menyarankan mengonsumsi gula maksimal sekitar 50 gram per hari untuk menjaga kadar gula dalam darah di ambang normal. Selain itu, gaya hidup yang lebih aktif dengan rajin berolahraga atau aktivitas fisik lain mampu menyeimbangkan neraca energi seperti seharusnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/04/12/180934623/kota-bikin-gemuk-setahun-tinggal-di-kota-berat-bertambah-015-kg