Selama lima tahun terakhir, ia meracik daun kelor (Moringa oleifera) dan dikemas sendiri ke dalam kapsul. Proses peracikan sendiri mulai dari pemetikan, pengeringan, penumbukan hingga dimasukkan ke dalam kapsul.
Menurut pengakuannya, setelah rutin mengonsumsi "obat" racikan itu sang kakek merasa lebih sehat.
Sejumlah studi memang mengungkap daun kelor memiliki segudang manfaat untuk kesehatan. Mulai untuk mengobati stres hingga mengatasi diabetes, mencegah peradangan, kanker, penuaan dini, dan bibir pecah-pecah. Meski begitu, daun kelor juga memiliki sisi kelam.
Sisi kelam daun kelor
Daun kelor memiliki ciri majemuk, bertangkai panjang, tersusun berseling, beranak daun gasal (imparipinnatus), helai daun saat muda berwarna hijau muda.
Menurut WebMD, tanaman asli daerah sub-Himalaya di India, Pakistan, Bangladesh dan Afganistan ini mungkin aman jika digunakan dengan tepat.
Daun, buah, dan biji mungkin aman dimakan, tapi penting untuk menghindari makan akar dan ekstraknya.
"Bagian tanaman ini mengandung zat beracun yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian," tulis WebMD.
Mereka juga mengimbau, kelor aman dikonsumsi apabila dosis 6 gram setiap hari dalam tiga minggu.
"Belum ada informasi yang cukup apakah daun kelor aman digunakan untuk obat," imbuh WebMD.
Meski begitu, ada peringatan khusus untuk ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan sama sekali mengonsumsi akar, kulit, dan bunga.
Pasalnya, zat kimia dalam bagian itu dapat menyebabkan rahim berkontraksi dan risiko keguguran.
"Tidak ada cukup informasi terkait keamanan bagian lain tanaman kelor saat masa kehamilan. Lebih baik tetap hindari penggunaannya," tulis WebMD.
Sementara tanaman kelor disebut bagus untuk memproduksi ASI, sebenarnya hingga saat ini belum ada informasi dan studi ilmiah yang cukup untuk membenarkan apakah ini aman untuk bayi.
"Karena itu, yang terbaik adalah menghindari kelor saat menyusui," tegas ahli.
Tanggapan ahli gizi
Ahli gizi Dr dr Tan Shot Yen, M. Hum mengatakan, meracik tanaman dan dijadikan obat bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dan terjadi begitu saja. Semuanya ada tahapan dan membutuhkan proses panjang.
"Untuk menjadikan suatu penemuan sebagai obat, apalagi untuk manusia, perjalanannya masih jauh," kata Tan kepada Kompas.com, Jumat (5/4/2019).
Agar memudahkan pembaca mengetahui perjalanan panjang penemuan obat, Tan memberikan bagan dan patokan dasar untuk hal itu seperti dapat dilihat di bawah ini.
"Dia itu (kelor) adalah functional food, bukan obat meski sudah diracik ke dalam kapsul," jelas Tan.
Lantas, apa itu functional food?
Melansir ABC News edisi (17/6/2009), functional food atau makanan fungsional adalah makanan sehat yang diyakini sebagai jawaban untuk berbagai penyakit seperti kolesterol, defisiensi yodium, hingga kanker.
Seperti kita tahu, makanan adalah salah satu sumber kehidupan manusia. Makanan memiliki nutrisi dan segudang gizi yang diperlukan tubuh.
Namun dalam upaya mencapai kesehatan yang lebih baik, beberapa orang mencoba mencari sumber pangan yang diyakini dapat memberi manfaat lebih besar.
Studi tentang itu kemudian memunculkan apa yang disebut makanan fungsional, makanan olahan yang diberi tambahan untuk meningkatkan manfaat bagi kesehatan.
Lantas seberapa besar manfaat kesehatan dari makanan fungsional?
Ahli gizi Dr. Rosemary Stanton percaya, makanan fungsional tidak memiliki tempat dalam diet sehat dan seimbang.
Sementara itu, ahli diet Dr Alan Barclay dari Asosiasi Ahli Diet Australia mengatakan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang seberapa efektif mengubah bahan makanan utuh yang dikonsumsi menjadi bentuk lain.
Dengan demikian, kapsul kelor buatan kakek di Magetan bisa saja berkhasiat. Namun dari sudut pandang medis, dia belum bisa disebut sebagai obat sebelum melewati berapa langkah lagi sesuai bagan.
https://sains.kompas.com/read/2019/04/05/170300323/memahami-beda-obat-dan-functional-food-lewat-kasus-kapsul-daun-kelor-