KOMPAS.com - Selama masa penjajahan, ribuan catatan sejarah yang dimiliki Indonesia dirampas ke Eropa, termasuk 7.000-an naskah kuno milik Keraton Yogyakarta.
Selama sepuluh tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono X berjuang membawa pulang naskah tersebut.
Bertepatan dengan peringatan 30 tahun Sultan bertakhta sejak 7 Maret 1989, setidaknya 75 manuskrip telah dikembalikan oleh pihak British Library ke Keraton Yogyakarta.
Jumlah ini jauh dari seharusnya. Meski begitu, pihak Keraton menyambut bahagia pulangnya mata rantai yang terputus sejak Geger Sepehi itu.
"Keraton sebagai pusat kebudayaan tidak pernah berhenti memproduksi maupun mereproduksi ilmu pengetahuan," ujar GKR Hayu dalam Simposium Internasional di Yogyakarta, Selasa (5/3/2019), seperti dikutip dari situs web resmi Keraton Yogyakarta.
"Namun demikian, ada mata rantai yang terputus saat peristiwa Geger Sepehi. Untuk itulah, kami mengundang para akademisi, praktisi, dan peneliti untuk berdiskusi sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Keraton Yogyakarta."
Kekalahan besar Keraton dan hilangnya naskah
Seperti disinggung GKR Hayu, manuskrip atau naskah kuno Keraton lenyap setelah peristiwa Geger Sepehi 207 tahun silam. Apa itu Geger Sepehi?
Istilah ini merujuk ke peristiwa Juni 1812 ketika bala pasukan Inggris menyerang Keraton Yogyakarta yang kembali dikuasai Sri Sultan Hamengku Buwana II.
Setahun sebelumnya, pasukan Inggris telah mengalahkan pemerintahan Belanda di Batavia dan merebut kekuasaan wilayah Jawa. Gubernur Jenderal Inggris di Kalkuta, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Era transisi ini dimanfaatkan oleh Sultan HB II untuk kembali menguasai Keraton Yogyakarta.
Setelah menjabat, Raffles menunjuk John Crawfurd sebagai residen Yogyakarta. Raffles juga membuat kebijakan baru terkait tanah dan pengelolaan uang. Namun bagi Sri Sultan HB II, kebijakan baru ini sama merugikannya dengan kebijakan Daendels ketika Belanda berkuasa.
Sultan pun menentang kedatangan Inggris dan merancang perlawanan. Raffles melihat ini sebagai ancaman dan mengirim Kolonel Robert Rollo Gillespie dan pasukan untuk menyerang Keraton.
Pada hari berikutnya, pertempuran utama terjadi. Setelah tembakan meriam pada dini hari, serangan besar-besaran datang mulai pukul lima pagi. Bala pasukan Inggris meliputi tentara Eropa, Sepoy atau Spei (India), serta Legiun Mangkunegaran.
Mereka menyerang sisi timur laut benteng Keraton yang mereka anggap paling lemah. Dinding sudut benteng ini runtuh dan jejaknya masih bisa dilihat hingga sekarang.
Kesultanan Yogyakarta jatuh ke tangan Inggris. Sri Sultan HB II menyerah ketika bala pasukan Inggris masuk ke Plataran Srimangati.
Menurut KRT Widyacandra Ismayaningrat, Carik (sekretaris) KHP Widyabudaya Keraton Yogyakarta, pada masa lalu ada hukum perang di Eropa yang membolehkan bala pasukan menjarah negara jajahan bila menang perang. Naskah-naskah tersebut adalah salah satu yang mereka jarah.
Kenapa Inggris mengambil naskah?
Candra menduga, para penjajah Inggris sangat menyukai sastra sehingga mereka mengambil naskah-naskah milik Keraton. Apalagi, naskah Keraton ditulis dengan tinta emas.
"Banyak naskah (Keraton Yogyakarta) yang sampul halaman depannya dihias dengan gambar-gambar dari tinta emas. Kebetulan pula, Raffles menyukai karya sastra," kata Candra saat ditemui Kompas.com di Tepas KHP Widyabudaya Keraton Yogyakarta, Kamis (14/3/2019).
"Makanya banyak penjajah saat itu merekrut prajurit bayaran untuk merampas naskah," imbuhnya.
Candra mengatakan ada lebih dari 7.000 naskah kuno yang dirampas. Naskah ini terhitung banyak karena pada zaman dulu, semua hal selalu diarsipkan, termasuk hak alih tanah.
Namun dari 7.000-an naskah yang hilang, tidak semuanya sampai ke Kerajaan Inggris.
Menurut bukti dan jejak sejarah, di tengah perjalanan, pasukan Inggris berhenti di Titik Nol Kilometer. Di sana, mereka melelang naskah kuno yang dianggap tidak menarik.
"Naskah-naskah itu dilelang, dijual ke masyarakat umum," ujarnya.
Itu kenapa beberapa orang mungkin masih memiliki naskah kuno yang diwariskan turun temurun oleh leluhurnya.
"Ada juga cerita, beberapa kapal karam di laut Jawa dan semenanjung Harapan di Afrika Selatan," ungkap Candra.
Saat perampasan naskah terjadi, ada dua naskah yang tidak dibawa pasukan Inggris. Pertama adalah naskah bertuliskan aksara Arab, tidak lain adalah Al Quran, dan kedua, Serat Suryorojo.
Serat Suryoroko berisi wejangan seorang raja kepada putra mahkota dan penerusnya dalam bentuk tembang Jawa. Surat ini, yang tersimpan di kamar Sri Sultan HB II, hanya boleh dibaca oleh raja atau putra mahkota penerus takhta.
"Keduanya (Al Quran dan Serat Suryorojo.) disimpan di gedung Prabayeksa," ujar Candra.
Tantangan membawa pulang dan merawat
Kembali ke naskah kuno yang dibawa Inggris. Menurut Candra, 75 naskah asli disimpan di British Library, Inggris, sedangkan sebagian besar lain disimpan di Yayasan Raffles.
Hal ini juga yang menjadi tantangan pihak Keraton untuk membawa pulang naskah tersebut.
"Kalau British Library milik pemerintah, tetapi kalau yang disimpan di Yayasan Raffles, itu sudah milik swasta. Itu yang sulit," ungkapnya.
Sementara itu, British Library menyerahkan 75 manuskrip dalam bentuk digital. Naskah kuno ini diserahkan secara resmi kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X pada pembukaan Simposium Internasional pada Selasa (5/3/2019).
Candra mengaku hingga saat ini, naskah dengan aksara Jawa dan bahasa lama itu belum diterjemahkan ulang. Pihak Keraton akan menerjemahkan dan menulis ulang naskah tersebut sehingga Keraton punya salinan dalam bentuk fisik.
Untuk ke depan, Candra mengaku belum dapat menentukan apakah semua naskah bisa dibuka untuk umum atau tidak. Ada harmoni yang ingin tetap dijaga.
"Kami akan tetap pilah untuk menghindari luka lama terbuka kembali," kata Candra tersenyum.
Candra sudah mengetahui gambaran besar isi manuskrip. Secara umum, naskah-naskah kuno itu menjelaskan politik masa lalu, toleransi, agama, hingga masalah kebencanaan.
"Kami berharap setelah nanti naskah itu dipahami, kita bisa mengetahui mitigasi bencana dan (menggunakan) untuk kepentingan kita bersama karena sampai saat ini, tidak ada lembaga yang mencatat kebencanaan kan?" tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/03/15/090800323/pulangnya-75-manuskrip-kuno-keraton-yogyakarta-yang-dirampas-inggris