KOMPAS.com - Baru-baru ini para peneliti menemukan bahwa asal usul patah hati terdapat di otak. Lebih khusus lagi, asal-usul suatu kondisi yang disebut "sindrom patah hati".
Sindrom patah hati, atau kardiomiopati takotsubo, terjadi ketika otot jantung tiba-tiba melemah dan menyebabkan jantung berubah bentuk. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh emosi atau stres yang ekstrem, seperti kehilangan orang yang dicintai.
Sekarang, sebuah studi baru menemukan bahwa otak juga tampaknya memainkan peran penting dari sindrom tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa pada orang yang mengembangkan sindrom patah hati, area otak yang bertanggung jawab untuk mengendalikan respons stres seseorang tidak berfungsi sebaik yang mereka lakukan pada orang tanpa gangguan ini.
Temuan ini diterbitkan 5 Maret di jurnal European Society of Cardiology.
Sindrom patah hati memiliki gejala yang mirip dengan serangan jantung, termasuk nyeri dada dan sesak napas.
Meskipun sindrom ini dapat memiliki konsekuensi yang bertahan lama, kebanyakan orang yang mengalaminya akan pulih sepenuhnya tanpa kerusakan permanen pada jantung, menurut Pusat Informasi Penyakit Genetik dan Langka.
Tetapi masih belum jelas mengapa beberapa orang mengembangkan kondisi ini dan yang lainnya tidak, kata Jelena-Rima Ghadri, co-author penelitian ini dari University Hospital Zurich, Swiss.
Melansir dari Live Science, Selasa (05/03/2019), karena hal itu, Ghadri dan timnya memutuskan memeriksa peran otak dari kondisi yang biasanya dipicu oleh emosi yang ekstrem tersebut.
Untuk melakukannya, tim memindai otak dari 15 pasien wanita yang sebelumnya menderita sindrom patah hati.
Pemindaian otak berlangsung pada 2013 dan 2014. Pasien telah didiagnosis, rata-rata, sekitar satu tahun sebelum pemindaian.
Pemindaian dilakukan di Rumah Sakit Universitas Zurich sebagai bagian dari interTAK Registry, sebuah pendaftar internasional untuk orang-orang dengan sindrom patah hati.
Pemindaian otak dibandingkan dengan 39 pemindaian otak lainnya, diambil pada pasien tanpa sindrom patah hati.
Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa orang-orang dengan kondisi tersebut memiliki lebih sedikit koneksi antara daerah otak yang terkait dengan pemrosesan emosional dan sistem saraf otonom - alat yang mengontrol proses otomatis dalam tubuh kita seperti berkedip dan detak jantung.
Untuk diketahui, neuron membentuk koneksi untuk berbicara satu sama lain dan mengirim sinyal ke otak. Artinya, jika koneksi-koneksi itu jarang maka wilayah-wilayah otak yang berbeda tidak dapat berkomunikasi dengan cukup baik untuk membentuk suatu tindakan, seperti respons yang tepat terhadap situasi yang penuh tekanan.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aktivitas abnormal pada amigdala khususnya - area otak yang terlibat dengan rasa takut - telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung.
Namun, Ghadri menuturkan, seberapa sedikit obrolan di antara wilayah-wilayah ini yang mengarah pada perubahan karakteristik sindrom patah hati masih belum diketahui.
Sayangnya, para peneliti juga tidak memiliki scan otak pasien sebelum mereka mengembangkan sindrom patah hati. Ini membuat mereka tidak dapat mengatakan apakah komunikasi yang menurun mungkin mendorong sindrom patah hati atau jika perkembangan sindrom tersebut mendorong penurunan komunikasi di otak.
Ghadri mengatakan dia berharap bahwa penelitian di masa depan akan dapat menguraikan temuan ini dan membantu dokter memahami siapa yang berisiko mengalami sindrom patah hati dan mengapa.
Tetapi, setidaknya kini kita tahu bahwa sindrom patah hati "jelas melibatkan interaksi antara otak dan jantung," kata Ghardi. Ini sebenarnya adalah sindrom otak-jantung.
https://sains.kompas.com/read/2019/03/07/150200723/bukan-hanya-kehilangan-sindrom-patah-hati-juga-berasal-dari-otak