Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Temuan Lebah Raksasa Maluku, Oasis di Tengah Penurunan Serangga Global

Lebah yang punya mandibula atau rahang bawah sangat besar ini pertama kali ditemukan Alfred Russel Wallace pada 1859. Barulah pada 1861 dideskripsikan dan diberi nama oleh Frederick Smith.

Bagi ahli serangga, ditemukannya lebah Wallace kembali adalah sebuah harapan baru di tengah cepatnya penurunan keanekaragaman jenis dan populasi serangga secara global.

Menilik ke belakang, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat lebah Wallace hanya terlihat kurang dari sepuluh kali dalam 200 tahun terakhir, yakni pada 1863, 1951, 1953, 1981, dan 1991.

Koleksi yang diperoleh disimpan di beberapa museum besar dunia, antara lain di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat.

"Kendati jenis asli dan endemik Indonesia, namun koleksi ilmiah lebah raksasa Wallace belum tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense sebagai pusat depositori nasional sekaligus museum zoologi terbesar di Asia Tenggara," jelas Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Joeni Setijo Rahajoe, dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (26/2/2019).

Joeni menjelaskan, dari 29.794 nomer koleksi bangsa Hymenoptera (lebah, tawon dan semut) terdapat 4.368 nomer koleksi lebah (Apidae).

Namun hanya beberapa koleksi lebah dari marga Megachile, yang memiliki mandibula besar, diantaranya Megachile clotho, M. lachesis, M. catinifrons, dan M. disjuncta.

"Hal ini yang akan menjadi perhatian kami untuk dapat memprioritaskan penemuan jenis-jenis langka dan endemik agar dapat menjadi referensi ilmiah bagi masyarakat Indonesia dan internasional," jelas Joeni. 

Kemudian di bulan Januari 2019 penemuan jenis ini kembali dilaporkan dalam Global Wildlife Conservation dari Maluku Utara.

"Lebah ini rentan terhadap perburuan dan kepunahan. Pengambilan koleksi lebah raksasa dengan tidak memperhatikan keberadaan sarang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari generasi lebah berikutnya sehingga meningkatkan resiko kepunahan jenis," ujar Cahyo.

Peneliti lebah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sih Kahono menjelaskan lebah raksasa Wallace adalah salah satu dari 456 jenis lebah yang dapat ditemukan di Indonesia dan hanya ditemukan di sejumlah pulau di Maluku Utara.

"Perilaku lebah Wallace sangat unik. Lebah betina menggunakan resin dari tanaman seperti Anisoptera thurifera untuk membuat sarang di dalam sarang rayap Microcerotermes amboinensis,” jelasnya.

Menurut Sih Kahono, keunikan asosiasi seperti ini masih belum banyak diketahui sehingga perlu penelitian lebih lanjut. 

Lebah raksasa Wallace sendiri telah masuk dalam kategori rentan (vulnerable) punah dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN red-list). Perlu upaya konservasi yang terukur pada masa mendatang agar dapat memastikan kelangsungan hidup jenis tersebut dan habitatnya. 

LIPI mendukung upaya semua pihak termasuk peneliti, pengamat, konservasionis, dan pihak lainnya baik dalam maupun luar negeri untuk bersama-sama memberikan perhatian kepada kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus melakukan upaya penyelamatan berbagai jenis-jenis endemik Indonesia serta jenis-jenis yang terancam punah.

"LIPI juga mengimbau semua pihak yang ingin berkontribusi dalam upaya pengungkapan keanekaragaman hayati, penyelamatan jenis dan habitatnya untuk menghormati dan mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di Republik Indonesia," tukas LIPI.   

https://sains.kompas.com/read/2019/02/27/104417423/temuan-lebah-raksasa-maluku-oasis-di-tengah-penurunan-serangga-global

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke