KOMPAS.com - Beberapa waktu belakangan internet dihebohkan dengan kabar seorang perempuan bernama Fela yang menjual keperawanannya di situs online Cinderella Escorts. Fela disebut-sebut mendapat penawaran tertinggi pada angka 19 miliar rupiah.
Di luar kasus Fela, keperawanan masih sering dianggap tabu untuk diperbincangkan. Meski begitu, ada setidaknya dua mitos tentang keperawanan yang telah dilanggengkan selama berabad-abad.
Kedua mitos tersebut pernah dibahas oleh Nina Dølvik Brochmann dan Ellen Støkken Dahl, penuli buku "The Wonder Down Under". Kedua perempuan tersebut juga merupakan dokter dan petugas kesehatan seksual.
Saat menjadi pembicara dalam acara TEDx di Oslo, Norwegia, Nina membuka dengan membahas mitos keperawanan yang telah dipercaya selama ini di dunia.
"Seperti kebanyakan Anda, kami tumbuh dengan kepercayaan bahwa selaput dara adalah bukti keperawanan," kata Nina memulai pembicaraannya.
"Tapi ternyata kami salah. Apa yang kami temukan adalah cerita populer tentang keperawanan perempuan didasarkan pada dua mitos anatomi," sambungnya.
Seperti yang disebutkan Nina, kedua mitos tersebut berkaitan dengan selaput dara.
Dua Mitos Keperawanan
Mitos pertama adalah tentang selaput dara yang pecah dan mengeluarkan darah ketika seorang perempuan pertama kali berhubungan seksual.
Mitos kedua adalah konsekuensi logis dari mitos pertama, yaitu karena selaput dara pecah maka ia menghilang atau berubah selama hubungan seksual pertama.
"Jika itu benar, seseorang akan dengan mudah menentukan apakah seorang perempuan perawan atau tidak dengan memeriksa alat kelamin, dengan melakukan pemeriksaan keperawanan," ujar Ellen.
Padahal, menurutnya, komunitas medis telah mengetahui hal tersebut tidak benar selama lebih dari 100 tahun.
Namun, entah bagaimana, mitos ini terus langgeng bahkan hingga kini.
"Mitos tentang selaput dara telah hidup selama berabad-abad karena memiliki signifikasi budaya. Mereka telah digunakan sebagai alat yang kuat dalam upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan dalam setiap budaya, agama, dan sejarah," kata Nina.
Dia berpendapat, perempuan masih tidak dipercaya, dipermalukan, dilukai, dan dalam kasus terburuk mengalami pembunuhan demi kehormatan jika tidak berdarah pada malam pernikahan.
Nina juga menyebutkan, di beberapa budaya, untuk mendapatkan pekerjaan, reputasi, dan pernikahan perempuan dipaksa melakukan tes keperawanan.
"Contohnya di Indonesia, di mana perempuan secara sistematis diperiksa untuk bisa masuk militer," kata Ellen.
"Setelah pemberontakan Mesir tahun 2011, sekelompok pemrotes perempuan dipaksa melakukan tes keperawanan oleh militer," sambungnya.
Hal ini juga terjadi di Oslo. Dokter memeriksa selaput dara para gadis hanya untuk meyakinkan orang tua bahwa anak mereka tidak "rusak".
"Sayangnya, para perempuan menjadi takut hidup tidak sesuai dengan mitos ini. Hingga mereka memilih melakukan perbaikan cepat keperawanan untuk memastikan berdarah saat berhubungan seksual," ujar Ellen.
"Itu bisa berupa operasi plastik yang dikenal sebagai revirgination, bisa berupa botol darah yang dituang di seprai setelah berhubungan seks, atau selaput dara palsu lengkap dengan darah bohongan," imbuhnya.
Mitos-mitos itu, menurut Nina membuat para gadis ketakutan dalam melakukan berbagai aktivitas yang merusak selaput dara mereka.
Bentuk Selaput Dara Sebenarnya
Untuk itu, Nina dan Ellen ingin memberikan penjelasan tentang kedua mitos tersebut.
"Dalam pengalaman kami, orang-orang tampaknya percaya bahwa selaput dara adalah semacam segel yang menutupi vagina. Bahkan, di Norwegia disebut dengan membran keperawanan," ujar Ellen.
"Dengan ini, kita seolah membayangkan itu adalah sesuatu yang rapuh, mudah dirusak, mudah robek, mungkin seperti selembar pembungkus plastik," tambahnya.
Ellen mencontohkan dengan sebuah hulahop yang telah ditutup plastik. Dia menunjukkan bahwa kebanyakan orang membayangkan selaput dara seperti plastik pembungkus hulahop tersebut yang mudah robek dengan pukulan kecil.
Perempuan berambut pirang tersebut mengatakan, kebanyakan orang membayangkan perbedaan selaput dara sebelum dan sesudah hubungan seks dapat dilihat semudah itu.
"Jadi, jika kita ingin melakukan pemeriksaan keperawanan pada lingkaran ini, di sini sekarang juga akan sangat mudah," ujar Ellen.
"Tapi, selaput dara bukan plastik pembungkus makanan atau segel. Faktanya, selaput dara lebih seperti ini (menunjukkan sebuah ikat rambut besar), seperti ikat rambut atau karet gelang," lanjut Nina.
Nina menambahkan, selaput dara adalah tepi jaringan di bagian luar vagina yang biasanya memiliki bentuk donat atau setengah bulan dengan lubang pusat yang besar.
"Tetapi ini sangat bervariasi, terkadang selaput dara dapat memiliki pinggiran, beberapa lubang, atau terdiri dari lobus," ujarnya.
Artinya, selaput dara secara alami memiliki bentuk bervariasi.
"Itulah yang membuatnya sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan keperawanan," tegas Nina.
Kesalahan Kedua Mitos
Penjelasan tentang bentuk selaput dara tersebut membuktikan bahwa kedua mitos tersebut tidak benar.
"Selaput dara tidak perlu rusak sama sekali. Selaput dara seperti ikat rambut dalam fungsi maupun penampilan," kata Ellen.
"Anda bisa meregangkan ikat rambut, bukan?" imbuhnya.
Ellen memberi contoh dengan merentangkan ikat rambut raksasa yang dipegang oleh Nina.
"Faktanya, ia sangat elastis," tegas Ellen disambut tawa para penonton.
"Dan untuk beberapa perempuan, selaput dara cukup elastis untuk menangani hubungan intim tanpa mengalami kerusakan," imbuhnya.
Sebaliknya, bagi perempuan lain, selaput dara mungkin sedikit sobek untuk memberi ruang bagi penis. Tapi itu tidak membuat selaput dara hilang, melainkan mungkin terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya.
"Jika Anda memiliki selaput dara elastis, Anda tidak akan mengeluarkan darah karena hubungan seks," tegas Nina.
"Tidak masalah apakah Anda masih perawan atau tidak. Ini adalah ketidakmungkinan anatomi," imbuhnya.
Hal ini berlaku bagi sebagian perempuan. Dengan kata lain, beberapa perempuan berdarah saat berhubungan intim untuk pertama kalinya dan sebagian lagi tidak.
Mitos kedua juga gugur mengikuti fakta pertama. Anda tidak bisa memeriksa selaput dara untuk memeriksa status keperawanan seseorang.
Menurut Nina, hal ini sudah pernah ditegaskan 100 tahun lalu oleh Dr Marie Jeancet dari Norwegia.
"Dia memeriksa pekerja seks paruh baya dan meyimpulkan bahwa alat kelaminnya mengingatkan pada seorang gadis remaja," kata Nina.
"Itu masuk akal, bukan? Sebab, jika selaput daranya tidak pernah rusak saat berhubungan seks, lalu apa yang kita harapkan untuk dilihat," imbuhnya.
Apalagi, menurut penjelasan kedua pembicara itu, setiap selaput dara berbentuk unik. Artinya, kita akan sulit membedakan apakah bentuk tersebut asli atau akibat kerusakan karena hubungan seksual.
"Absurditas uji keperawanan ditunjukkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 36 remaja hamil," kata Ellen.
"Ketika dokter memeriksa selaput dara mereka, tanda penetrasi yang jelas hanya terlihat pada dua orang dari 36 gadis," sambungnya.
Ini menunjukkan bahwa kondisi selaput dara tidak bisa membuktikan keperawanan seseorang. Pada akhir presentasinya, Nina dan Ellen menegaskan bahwa mitos tentang selaput dara dan keperawanan tidak benar.
Mereka juga berharap bahwa mitos-mitos tersebut berhenti dipercayai. Meski mereka sadar bahwa mitos-mitos tersebut tidak sesederhana kesalahpahaman anatomi selaput dara.
"Ini masalah kontrol budaya dan agama terhadap seksualitas perempuan. Dan itu lebih sulit diubah, tetapi kita harus berusaha," tutur Nina.
"Sebagai petugas kesehatan profesional, ini adalah kontribusi kami. Kami ingin setiap gadis, orang tua, dan calon suami memahami tentang apa itu selaput dara dan cara kerjanya," tegas Ellen.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/26/142644523/viral-kasus-fela-begini-fakta-dari-2-mitos-keperawanan