KOMPAS.com - Tim peneliti internasional berhasil menemukan kembali lebah terbesar di dunia yang berada di Kepulauan Maluku. Bagaimana kisah di balik penemuan lebah yang diberi nama Wallace (Megachile pluto) dengan bentangan sayap sepanjang enam sentimeter tersebut?
Lebah jenis ini sebelumnya sudah pernah didokumentasikan. Pertama, oleh Alfred Russel Wallace pada 1859, dan yang kedua pada tahun 1981.
Namun sejak itu, Megachille pluto dianggap sudah punah.
Peneliti Dr Simon Robson dari Universitas Sydney dan koleganya Glen Chilton dari Saint Mary's University di Kanada bersama seorang fotografer asal AS dan seorang entomolog kemudian bergabung melakukan perburuan lebah ini.
Keempat "detektif serangga" pun bertemu di Jakarta pada Januari lalu. Dari sana, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Maluku untuk mencoba peruntungan.
"Pada dasarnya kami berempat yang sudah lama berminat pada lebah ini bertemu dan saling mengajak untuk mencarinya," jelas Dr Robson.
"Kami berhasil menemukannya dan ini jadi liburan terbaik yang pernah saya alami," ujarnya.
Tim tersebut menelusuri kawasan hutan tropis di daerah tersebut selama lima hari. Mereka memeriksa banyak sarang rayap untuk mencari tanda-tanda adanya lebah dimaksud.
Lebah betina tersebut menemukan jalannya ke sarang rayap untuk bertelur, meninggalkan lubang yang cukup besar.
"Kami saat itu masih di hutan dan sudah agak sore, baru saja mau makan siang dan salah satu dari kami melihat gundukan rayap," ujar Dr Robson.
Salah satu dari tim itu memanjat pohon tempat sarang rayap berada. Setelah menyalakan obor, mereka pun bisa melihat adanya lebah di dalam sarang rayap tersebut.
Dengan menggunakan tabung plastik mereka pun menangkap lebah ini untuk didokumentasikan sebelum akhirnya dilepas kembali.
Dijelaskan, lebah ini mengumpulkan nektar untuk anak-anaknya, namun sama sekali tidak menghasilkan madu.
Berbeda dengan lebah Eropa, lebah ini pun tak mati setelah menyengat.
Lebah ini, kata dr Robson, bisa menyengat kita berkali-kali dan hal itu tidak akan membunuh kita.
"Sebenarnya, jika ada lebih banyak lebah, kami justru mau disengat untuk merasakan seperti apa. Tapi karena hanya menemukan seekor, kami tak ingin mengganggu atau membuatnya kesal," jelas Dr Robson.
Lebah raksasa Wallace juga memiliki seperangkat penjepit besar yang disebut mandibula di bagian kepalanya. Menurut Dr Robson, penjepit ini yang mungkin bisa berbahaya.
Karena hanya terlihat beberapa kali, para peneliti hingga saat ini masih belum tahu banyak tentang lebah tersebut.
Pakar lebah Dr Tim Heard dari University of Sydney menduga, bisa saja lebah ini merupakan penyerbuk utama untuk spesies pohon tertentu di pulau tersebut.
"Itu sangat mungkin, tapi kami tidak tahu pasti," kata pakar yang tak terlibat dalam penemuan ini.
Terlepas dari ceruk ekologisnya, Dr Heard mengatakan perlunya perlindungan kawasan hutan itu dari ancaman deforestasi untuk kebun sawit, yang sangat marak di Indonesia.
"Lebah ini terbesar di dunia, langka, dan ditemukan oleh Wallace, legenda di bidangnya. Dia menemukan evolusi melalui seleksi alam bersama dengan Darwin," katanya.
Dr Robson menjelaskan timnya berharap keberadaan lebah ini di Kepulauan Maluku dapat menjadi unggulan bagi pelestarian lingkungan dan ekowisata di wilayah tersebut.
"Deforestasi adalah ancaman utama," kata Dr Robson.
"Kita mungkin bisa membuat lebah ini jadi perhatian publik sebagai sesuatu yang patut untuk dilihat," tambahnya.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/25/131301323/kisah-di-balik-penemuan-lebah-terbesar-dunia-di-maluku