KOMPAS.com – Banyak orang beranggapan bahwa sakit kepala, terutama setelah makan, adalah pertanda darah tinggi. Alhasil, tidak sedikit orang yang kemudian makan obat hipertensi ketika sakit kepala tiba-tiba.
Namun, perlu diketahui bahwa sakit kepala sebetulnya bukan ciri khas dari hipertensi.
Disampaikan oleh Prof Dr dr Suhardjono, SpPD-KGH, Kger selaku Pakar Hipertensi dan Guru Besar di Departemen Penyakit Dalam FKUI dalam konferensi pers 13th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension (InaSH) di Jakarta, Jumat (22/2/2019), sakit kepala memiliki ratusan penyebab, sehingga tidak bisa disebut sebagai ciri khas dari hipertensi.
Pernyataan itu disetujui oleh dr Adre Mayza, SpS(K) yang hadir dalam acara yang sama. Dia mengatakan, perlu dibedakan antara sakit kepala yang gejala hipertensi dengan sakit kepala yang gejala penyakit lain.
Akan tetapi, hanya lima persen penderita hipertensi yang mengeluhkan sakit kepala. Hal ini, ujar dr Djoko Wibisono, SpPD-KGH yang merupakan Ketua Panitia acara, membuat banyak pasien hipertensi tidak meminum obatnya hanya karena sudah tidak sakit kepala lagi.
Untuk menegakkan diagnosis hipertensi, ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Dokter pun tidak boleh cepat-cepat mengambil kesimpulan karena ada banyak penyebab yang bisa menaikkan tekanan darah.
Dokter Tunggul D Situmorang, SpPD-KGH, President of InaSH, berkata bahwa rasa tidak nyaman akibat sakit kepala bisa saja menaikkan tensi darah, sehingga tidak dapat diputuskan apakah sakit kepala yang menyebabkan hipertensi atau sebaliknya.
Pembunuh sunyi
Hipertensi atau gangguan pada sistem peredaran darah di mana tekanan darah melebihi batas nilai normal (140/90 mmHg) sering kali tidak bergejala. Ia biasanya baru ketahuan ketika melalui skrining. Namun, harus diingat bahwa hipertensi merupakan biang kerok berbagai penyakit lainnya.
Tekanan darah yang tinggi bisa menimbulkan komplikasi yang menyerang berbagai organ. Jika menyerang ginjal, ia bisa menyebabkan gagal ginjal. Bila pada jantung, terjadi penyakit jantung. Kalau menyerang syaraf, terjadi stroke. Bahkan, hipertensi bisa menyebabkan disfungsi seksual.
Mirisnya, prevalensi hipertensi terus meningkat. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 34,1 persen masyarakat Indonesia yang berumur 18 tahun ke atas menderita hipertensi. Angka ini naik 7,6 persen bila dibandingkan dengan Riskesdas 2013.
Pada generasi millenial, dr Paskariatne Probo Dewi Yamin, SpJP berkata bahwa hipertensi biasanya baru ketahuan saat melakukan medical check-up dari kantor karena sifat penyakit ini yang tidak bergejala.
Untuk itu, InaSH menyelenggarakan 13th Scientific Meeting of Indonesian Society of Hypertension dengan tema Global Risk Management in Hypertension. Harapannya, agar masyarakat Indonesia dan dunia semakin sadar akan bahaya hipertensi dan penyakit ini dapat ditangani sedini mungkin.
Salah satu pokok pembahasan dalam pertemuan ilmiah tahun ini adalah Konsensus Penatalaksanaan berdasarkan penelitian di seluruh dunia dengan menyesuaikan kondisi Indonesia.
Tunggul mengatakan, tujuan utama konsensus tentu saja agar diagnosis hipertensi dilakukan secara benar dan tekanan darah border-line (ambang batas) dikonfirmasi dengan mengecek tekanan darah di luar klinik atau rumah sakit.
Pengecekkan ini bisa di rumah dengan Home Blood Pressure Monitoring (HBPM) atau dengan Ambulatory Blood Pressure Monitoring yang dipakai pasien selama 24 jam dan memeriksa tekanan darah pada interval 20-30 menit.
Pasalnya, bisa terjadi perbedaan antara hasil pengukuran tekanan darah berdasarkan lokasi dan waktunya.
White-coat hypertension, misalnya, adalah kondisi di mana tekanan darah pasien secara persisten tinggi ketika diukur di rumah sakit atau klinik, tetapi normal ketika di lain waktu. Lalu, ada juga masked-morning hypertension di mana kondisi tekanan darah secara persisten normal ketika diperiksa di rumah sakit, tetapi tinggi di lain waktu.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/23/190600923/jangan-salah-sakit-kepala-bukan-ciri-dari-hipertensi