KOMPAS.com - Minum menggunakan sedotan dan kantong plastik mungkin akan mendapat kritik pedas, namun momok sebenarnya dari plastik sekali pakai adalah ketergantungan kita pada mereka.
Dari transportasi ke manufaktur hingga layanan makanan, plastik ada di mana-mana. Untuk memerangi "polusi putih" ini sendiri akan membutuhkan perubahan besar pada material itu sendiri.
Untungnya, para ilmuwan, insinyur dan desainer mengalihkan fokus mereka ke bahan alternatif ramah lingkungan dengan menciptakan hal-hal seperti isolasi ganggang, dan substitusi polimer yang terbuat dari tepung tanaman fermentasi seperti jagung atau kentang.
Alternatif-alternatif ini tidak hanya membendung gelombang plastik yang sedang tumbuh: mereka juga mencoba mengatasi masalah-masalah dengan mengimbangi emisi karbon, dan mengembalikan nutrisi ke bumi.
Setidaknya ada 4 bahan alternatif yang telah berhasil dan sedang dikembangkan para ilmuwan.
1. Wol batu
Untuk mengubah salah satu sumber daya dunia yang paling melimpah menjadi sesuatu dengan utilitas dan keberlanjutan, diperlukan jenis alkimia khusus.
Wol batu berasal dari batuan beku alami — jenis yang terbentuk setelah lava mendingin — dan produk sampingan pembuatan baja yang disebut terak; zat ini dicairkan bersama dan dipintal menjadi serat, sedikit seperti permen.
Tak seperti fiberglass (dibuat dengan kaca daur ulang), atau plastik berbusa (bahan konduktif sering digunakan untuk memblokir perpindahan panas di loteng, atap dan ruang beratap rendah), wol batu dapat direkayasa untuk membagun properti unik, termasuk ketahanan api, kemampuan akustik dan termal, daya tahan air dan daya tahan dalam kondisi cuaca ekstrem.
Selama beberapa tahun terakhir, wol batu mendapatkan daya tarik dari arsitek dan desainer sadar lingkungan saat mereka mencari bahan bangunan yang lebih berkelanjutan murah dan memiliki estetika.
Rockwool Group adalah produsen wol batu yang menjalankan fasilitas produksi di Eropa, Amerika Utara dan Asia. Perusahaan ini telah memasang wol batu di gedung-gedung komersial dan industri di seluruh dunia, termasuk O2 Arena London dan Bandara Hong Kong.
Ketika kebakaran hutan dan banjir meningkat dalam frekuensi dan tingkat keparahan, Stone Wool juga dapat memberikan pemilik rumah ekstra keamanan dalam bencana alam.
2. Jamur
Jamur tidak hanya merupakan tambahan rasa dalam makanan. Segera, jamur yang hidup di batang pohon dan jamur payung di hutan dapat menggantikan bahan-bahan seperti polystyrene, kemasan pelindung, isolasi, insulasi akustik, furnitur, bahan akuatik dan bahkan barang-barang kulit.
MycoWorks, sebuah tim insinyur, perancang dan ilmuwan kreatif, sedang bekerja untuk mengekstraksi jaringan vegetatif jamur dan memadatkannya menjadi struktur baru. Mereka mengkurasi jamur seperti halnya bahan organik lainnya seperti karet atau gabus.
Perusahaan lain, Evocative Design yang berbasis di New York, menggunakan miselium sebagai agen pengikat untuk menyatukan panel kayu, serta untuk kemasan tahan api.
Jamur terdiri dari jaringan filamen yang disebut hifa. Ketika kondisi pertumbuhan cocok, tubuh buah—struktur khusus untuk produksi spora—sering muncul tiba-tiba; apa yang disebut produk miselium dengan demikian mudah dibudidaya dan dikembangkan.
Miselium dapat ditanam di hampir semua jenis limbah pertanian (mulai kulit serbuk gergaji hingga sekam). Jamur tumbuh bersama di dalam bahan, yang dapat dikonfigurasi dalam bentuk apa pun, membentuk polimer alami yang melekat seperti lem terkuat.
Dengan memanggang jamur pada suhu yang tepat, mereka dibuat lembam, sehingga memastikan bahwa jamur tidak tiba-tiba tumbuh lagi dalam badai hujan. Sementara jamur chanterelle, shiitaki dan portobello mungkin lebih baik dengan pizza daripada plester yang menjamur, satu hal yang jelas: jamur adalah masa depan kita.
3. Batu Bata Urin
Semen, bahan utama beton, menyumbang sekitar 5 persen dari emisi karbon dioksida dunia. Para peneliti dan insinyur sedang bekerja untuk mengembangkan alternatif yang tidak terlalu intensif energi.
Para ilmuwan mengembangkan batu bata yang dibuat dengan butiran sisa pembuatan bir, beton yang mencontoh pemecah gelombang Romawi kuno (Roma membuat beton dengan mencampur kapur dan batu vulkanik untuk membentuk mortar, bahan yang sangat stabil), dan hingga batu bata dari urin.
Batu bata urin ini dibuat oleh mahasiswa Edinburgh College of Art Peter Trimble saat sedang mengerjakan proyek tesisnya.
Hampir secara tidak sengaja, ia menciptakan "Biostone": campuran pasir (kebetulan, salah satu sumber daya bumi yang paling melimpah), nutrisi, dan urea—bahan kimia yang ditemukan dalam urin manusia.
Memompa larutan bakteri ke dalam cetakan berisi pasir, Trimble merancang ratusan percobaan selama satu tahun sampai ia mengubah resepnya. Mikroba akhirnya memetabolisasikan campuran pasir, urea, dan kalsium klorida, menciptakan lem yang sangat mengikat molekul pasir.
Desain Trimble menawarkan alternatif untuk metode intensif energi dengan proses biologis energi rendah dari pembuatan mikroba. Biostone tidak menghasilkan gas rumah kaca dan menggunakan bahan baku yang tersedia secara luas.
Sementara material Trimble akan membutuhkan penguat sekuat beton, itu bisa menjadi cara murah untuk membangun struktur sementara atau furnitur jalanan.
Paling tidak, Biostone telah melahirkan diskusi tentang cara-cara di mana manufaktur industri dapat dibuat lebih berkelanjutan, khususnya di Afrika Sub-Sahara dan negara-negara berkembang lainnya di mana pasir tersedia.
Namun, batu bata bio ini memiliki kelemahan lingkungan: metabolisme bakteri yang sama yang memadatkan kerjanya juga mengubah urea menjadi amonia. Artinya, bahan ini dapat mencemari air tanah jika lolos ke lingkungan.
4. Papan Partikel yang Lebih Hijau
Terlepas dari apa yang terdengar, papan partikel—panel kaku yang terbuat dari serpihan kayu dan resin yang dikompresi dan dilapisi yang digunakan dalam furnitur dan lemari dapur di seluruh dunia — sebenarnya tidak memiliki tempat di jajaran bangunan hijau.
Itu karena lem yang mengikat serat kayu papan partikel secara tradisional mengandung formaldehida, bahan kimia yang tidak berwarna, mudah terbakar, berbau kuat dan menyebabkan ritasi pernapasan dan karsinogen.
Artinya, rak kayu-kayu Anda diam-diam "mengeluarkan gas" ke udara.
Satu perusahaan, NU Green, menciptakan bahan yang terbuat dari 100 persen serat kayu daur ulang yang disebut "Uniboard".
Uniboard menghemat pohon dan menghindari tempat pembuangan sampah. Selain itu, bahan ini juga menghasilkan gas rumah kaca yang jauh lebih sedikit daripada papan partikel tradisional, dan tidak mengandung racun.
Itu karena Uniboard telah memelopori penggunaan serat terbarukan seperti batang jagung dan hop, serta tidak ada resin formaldehida tambahan (NAF), bukan lem.
Bukan rahasia lagi bahwa ekstraksi minyak bumi, yang diperlukan untuk menghasilkan plastik, memiliki konsekuensi lingkungan yang menghancurkan. Lebih buruk lagi adalah membuang plastik itu sendiri: bahan kimia beracun yang terkandung dalam plastik sering kali larut ke dalam makanan, minuman dan air tanah.
Tapi yang lebih mengejutkan adalah daur ulang ternyata hanya memperlambat perjalanan plastik ke tempat pembuangan sampah atau lautan, di mana bahan tersebut hanya terpecah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan lebih kecil yang tidak pernah terurai sepenuhnya.
Beberapa laporan memperkirakan bahwa, pada tahun 2030, 111 juta metrik ton plastik akan berakhir di tempat pembuangan sampah dan lautan.
Daur ulang adalah langkah ke arah yang benar, tetapi untuk benar-benar berbalik arah, kita perlu melihat ke arah alternatif plastik dan sumber daya terbarukan untuk masa depan yang berkelanjutan.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/20/180000923/perangi-plastik-ilmuwan-buat-4-produk-material-alternatif