Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ironi Indonesia di Balik Gembar-gembor Revolusi Industri 4.0

Sebut saja dari stunting atau tubuh anak pendek karena kurang gizi, angka rabies, peringkat kedua dalam hal BAB sembarangan, perilaku di dunia maya, dan pendidikan rata-rata orang Indonesia.

Bagaimana angka dan data sebenarnya yang terjadi di lapangan? Berikut ulasannya.

1. Angka stunting masih jauh dari standar WHO

Pada 2015 Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara dengan jumlah stunting paling banyak menyusul Laos.

Menurut catatan Kata Data, prevalansi stunting anak balita pada 2015 adalah 36,4 persen. Artinya, saat itu lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta anak balita mengalami stunting.

Terbaru, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, sebesar 30,8 persen anak balita Indonesia masih mengalami stunting.

Adapun proporsi status gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi paling tinggi ialah di Nusa Tenggara Timur yang mencapai 42,6 persen dan terendah di DKI Jakarta sebesar 17,7 persen.

Kepala Badan Litbangkes Siswanto mengatakan, meski tren stunting mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami gizi akut bila prevelansi anak balita stunting lebih dari 20 persen.

Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orangtua akan pentingnya kesehatan menjadi penyebab utama tingginya angka stunting. Masalah ini masih menjadi PR kita bersama.

2. Angka rabies masih tinggi

Melansir laman resmi Departemen Kesehatan, depkes.go.id, selama periode 2011 sampai 2017 ada lebih dari 500.000 kasus rabies di dunia. Gigitan hewan penular rabies (GHPR) yang dilaporkan di Indonesia sebanyak 836 kasus positif rabies.

Kematian akibat rabies mencapai 100 orang per tahun dan sebagian besar dialami anak-anak Indonesia. Sementara dalam hitungan global, rabies dapat merenggut lebih dari 55.000 nyawa setiap tahun.

"Sejak 1995, Indonesia tak pernah dinyatakan bebas rabies. Per tahun ditemukan 1.500 kasus terpapar rabies," kata Steven Dandel, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Provinsi Sulawesi Utara.

Hewan positif rabies dapat menularkan penyakitnya ke manusia atau hewan lain melalui luka gigitan, jilatan pada kulit yang lecet, selaput lendir mulut, hidung, dan mata.

3. Indonesia peringkat kedua buang hajat sembarangan

Menurut WHO, sekitar 32 juta orang Indonesia masih buang air besar (BAB) di tempat terbuka pada 2015.

Hal ini tidak diimbangi dengan proyek sanitasi di wilayah Indonesia.

Pada Februari 2018, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, proyek sanitasi di Indonesia hanya ada 62 buah pada Desember 2017.

Walaupun disebut ada peningkatan perbaikan sanitasi, angka ini jauh di bawah pemenuhan proyek infrastruktur, seperti jalan tol, jembatan, dan perumahan rakyat.

Indonesia berada di bawah India untuk urusan buang air besar sembarangan.

4. Kehidupan orang Indonesia di dunia maya

Dari laporan berjudul Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerce Use Around The World yang diterbitkan pada 30 Januari 2018, dari total populasi Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa, pengguna aktif media sosial mencapai 130 juta dengan penetrasi 49 persen.

Sebanyak 120 juta orang Indonesia menggunakan perangkat mobile, seperti smartphone atau tablet untuk mengakses media sosial, dengan penetrasi 45 persen. Dalam sepekan, aktivitas online di media sosial melalui smartphone mencapai 37 persen.

https://sains.kompas.com/read/2019/02/19/210200523/ironi-indonesia-di-balik-gembar-gembor-revolusi-industri-40

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke