Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Soal Kanker, Lingkungan dan Gaya Hidup Lebih Dominan Ketimbang Genetik

Oleh Hardisman Dasman

ISTRI mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono, baru-baru ini terdeteksi terkena kanker darah dan kini dirawat di Rumah Sakit Universitas Nasional Singapura.

Vonis penyakit ini mengagetkan keluarga Yudhoyono karena Ani selama ini terlihat sehat dan aktif, termasuk dalam lawatan ke Sumatra Utara dan Aceh Januari lalu. Baru terdeteksinya kanker tersebut sebenarnya secara medis tidak mengejutkan karena kanker darah dapat terjadi secara akutatau dalam waktu cepat.

Kanker darah (leukemia) merupakan pertumbuhan abnormal sel darah putih dan tidak terkontrol produksinya di sumsum tulang atau jaringan limfoid.

Akibatnya akan menekan produksi sel darah merah yang juga ada pada sumsum tulang, sehingga transportasi hemoglobin (protein di dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh) terganggu dan penderita akan menjadi pucat dan lemah.

Tambahan lagi, produksi sel darah putih yang abnormal tidak dapat berfungsi dalam kekebalan tubuh sebagaimana seharusnya.

Ani Yudhoyono tidak sendirian. Secara nasional di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat angka kejadian (prevalensi) kanker mencapai 1,4 per seribu penduduk. Umumnya tersebar pada enam penyakit kanker utama: kanker paru, payudara, usus besar, hati, leher rahim, dan prostat.

Kanker sangat perlu diwaspadai karena kemungkinan kesembuhan yang rendah dan angka kematiannya yang tinggi. Setiap orang yang terdiagnosa dengan kanker bagaikan mendengarkan vonis kematian. Hal ini tidak hanya karena sifat penyakitnya tapi juga karena sebagian besar pasien datang berobat ke rumah sakit dalam keadaan stadium lanjut.

Mana yang lebih dominan menyebabkan kanker, faktor genetik atau faktor lingkungan dan gaya hidup? Sejumlah riset menunjukkan faktor lingkungan dan gaya hidup lebih dominan ketimbang faktor genetik.

Kanker yang mengancam

Secara global, American Cancer Society mencatat jumlah penderita kanker, berdasarkan data insiden, prevalensi, dan mortalitas kanker, mencapai setidaknya 18 juta penderita pada 2018. Dengan populasi dunia mencapai 7,7 miliar orang, angka prevalensi kanker mencapai 2,3 per seribu penduduk.

Prevalensi kanker ini didominasi oleh beberapa penyakit kanker utama: kanker paru (11,6%) pada laki-laki dan perempuan, lalu kanker payudara (11,6%), kanker prostat (7,1%), dan kanker usus besar (6,1%).

Angka kematian tertinggi terjadi pada kanker paru, yaitu 18,4% dari semua kasus kanker yang terdiagnosis, diikuti kanker usus besar 9,2% dan kanker hati 8,2%. Sedangkan khusus pada perempuan, kanker payudaramerupakan penyebab kematian terbanyak, yaitu 25,1%.

Meski telah dilaporkan pada berbagai penelitian tentang angka mortalitas berbagai penyakit kanker, tapi angka tersebut merupakan estimasi rata-rata pada kasus yang telah terdiagnosis di rumah sakit.

Tingkat kesembuhan yang rendah dan angka kematian yang tinggi pada penyakit kanker sangat ditentukan oleh jenis sel, stadium, kondisi pasien, dan ada atau tidaknya penyakit penyerta.

Pada kanker paru, misalnya, secara rata-rata pada semua stadium jenis small cell (salah satu jenis kanker paru), angka bertahan hidup sampai lima tahun hanya sekitar 6% atau dengan angka kematian mencapai 94%. Sedangkan jenis non-small cell angka bertahan hidup mencapai 18% (angka kematian 89%) dalam lima tahun.

Namun bila dilihat kondisi pasien dan berdasarkan stadium panyakit, kanker jenis non-small cell tersebut pada stadium awal (I) dapat bertahan 45-49% dalam lima tahun. Angka bertahan hidup ini akan menurun seiring dengan peningkatan stadium penyakitnya, seperti pada stadium II berkisar 30% dalam lima tahun.

Kemudian jika sudah terdianosis pada stadium III, yang berarti sudah mengalami metastase atau menjalar ke organ lainnya melalui aliran darah, estimasi angka harapan hidupnya hanya mencapai 8 bulan.

Begitu juga dengan kanker payudara. Angka bertahan hidup pada stadium I dalam lima tahun mencapai 88,1-100%, tapi pada stadium IV menurun hingga 4,2%.

Faktor risiko di sekitar kita

Berbagai faktor risiko berperan terhadap munculnya kanker, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan dan gaya hidup. Faktor ini seperti zat-zat yang memicu kanker atau karsinogen, merokok, konsumsi alkoholberlebihan, konsumsi rendah serat, dan kurang aktifitas fisik.

Faktor genetik berperan sebagai risiko kanker yang menyebabkan perubahan sifat pertumbuhan sel. Faktor gen tersebut berperan sebagai precursor (pendahulu) terjadinya kanker, yang disebut sebagai onkogen, seperti gen p53 dan gen rb pada kanker paru, dan gen BRCA1 dan BRCA2pada kanker payudara.

Pada faktor risiko lingkungan, berbagai zat telah terbukti bersifat pemicu kanker termasuk tar, rodon, karbon monoksida, formaldehid, benzene, arsenic, asbestos, aflatoxin¸ dioksin, mercury, karbon monoksida (CO), dan lain sebagainya. Sebagian besar karsinogen tersebut muncul adalah akibat perilaku seperti merokok, asap kendaraan bermotor, dan pembakaran sampah plastik.

Benzenne, terdapat pada asap kendaraan bermotor dan juga asap rokok, berpotensi sebagai risiko kanker darah (leukemia). Arsenik merupakan logam berat beracun yang bisa ditemukan pada makanan laut dan air yang tercemar, dan tanah, menjadi risiko kanker kulit, kanker paru, dan kandung kemih.

Karbon monoksida ditemukan pada pembakaran sampah, asap kendaraan bermotor, pembakaran benda organik dan rokok, berisiko terhadap kanker paru. Dioksin dapat dihasilkan oleh pembakaran sampah plastik dan berisiko terhadap kanker paru dan kanker lainnya.

Mutasi abnormal pada sel

Zat karsinogenik tersebut dapat memicu kanker bila terhirup melalui pernafasan atau mengkontaminasi makanan. Sel tubuh yang terpapar karsinogen akan berubah sifat dengan tumbuh tidak terkontrol.

Mekanisme terjadinya kanker ini melalui proses yang sangat kompleks, yang melibatkan proses molekuler, seluler, genetika, dan melalui interaksi faktor risiko lingkungan tersebut.

Pada mekanisme tingkat sel dan molekuler, kanker terjadi melalui perubahan sifat sel. Pada tahap awal terjadi perubahan kode genetik atau mutasi abnormal pada sel tersebut yang dikenal dengan proses inisiasi. Meskipun ada faktor precursor genetik, namun paparan dengan zat karsinogenlah yang memicu terjadinya mutasi abnormal tersebut.

Perubahan kode genetik inilah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan sel selanjutnya, sehingga sel-selnya mengalami perubahan sifat. Sel-sel tersebut berkembang dan bertambah banyak melebihi batas normal, sehingga organnya terus membesar, yang dikenal sebagai tahapan progresi.

Cepat-lambat perkembangan kanker juga dipengaruhi oleh genetik orang tersebut, besarnya paparan terhadap risiko, dan respon hormonal tubuhnya.

Berdasarkan mekanisme terjadinya perubahan sel menjadi sel kanker, serta pertumbuhan dan perkembangan organ, maka dapat dilihat bahwa faktor lingkungan lebih memegang peranan penting dibanding faktor genetik. Meski terdapat precursor genetik, adanya paparan risiko lingkungan sangat menentukan seseorang terkena kanker.

Bagaimana mengurangi risiko?

Melihat kepada besarnya faktor risiko di Indonesia saat ini seperti perilaku merokok yang tinggi, konsumsi rendah serat, dan pembakaran sampah plastik yang masih umum di masyarakat, risiko kanker ke depan sangat besar.

Jumlah perokok aktif di Indonesia berusia di atas 15 tahun mencapai sekitar 65 juta. Berbagai penelitian membuktikan bahwa perokok berisiko terkena kanker paru 20 kali hingga 100 kali dibandingkan yang tidak merokok. Zat karsinogen pada rokok akan merusak jaringan mesenkim dan epitel paru sehingga menimbulkan inflamasi seluler dan terjadinya mutasi genetik.

Risiko kanker tidak hanya pada perokok aktif, tapi juga pada perokok pasif.

Terlebih lagi, risiko ini tidak hanya pada perokok pasif langsung yang menghisap asap rokok dari hembusan perokok (secondhand smoking), tapi juga perokok pasif yang mendapat ‘racun’ rokok yang telah melengket pada lingkungan sekitar (thirdhand smoking) seperti di karpet, sofa, dinding, gorden, dan lainnya.

Berdasarkan risiko tersebut, pencegahan terhadap penyakit kanker dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan dan perilaku dan deteksi dini. Dalam konteks rokok, sudah saatnya pemerintah meningkatkan pengendalian tembakau agar akses terhadap rokok makin sulit dan konsumsinya menurun.

Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan menggalakkan upaya pencegahan kanker pada masyarakat yang disebut dengan CERDIK (Cek kesehatan berkala, Enyahkan rokok, Rajin beraktifitas fisik, Diet sehat dan kalori seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stress). Upaya ini diharapkan dapat menekan risiko lingkungan yang dapat memicu terjadinya kanker.

Tentu saja keterlibatan semua warga sangat penting untuk mencegah penyakit mematikan ini.

Hardisman Dasman

Associate Professor in Community Medicine and Healthcare Policy, Universitas Andalas

Artikel ini dipublikasikan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia dari judul asli "Kanker yang membunuh: faktor risiko lingkungan dan gaya hidup lebih dominan ketimbang genetik". Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.


https://sains.kompas.com/read/2019/02/19/130600823/soal-kanker-lingkungan-dan-gaya-hidup-lebih-dominan-ketimbang-genetik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke