KOMPAS.com – Prof dr Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK bercerita bahwa pernah ada suatu masa Jakarta Pusat terbebas dari demam berdarah dengue (DBD).
Cerita ini bukan dari zaman dahulu kala, melainkan ketika Fauzi Bowo masih menjadi gubernur DKI Jakarta dan Sylviana Murni adalah walikota Jakarta Pusat.
Dituturkan oleh Saleha dalam seminar Info Sehat FKUI untuk Anda yang bertajuk “Demam Berdarah yang Tak Kunjung Musnah, Mengapa?” di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rabu (13/2/2019); pada masa itu, Jakarta menjadi rumah kasus DBD terbanyak di dunia.
Berbagai upaya pemberantasan pun ditempuh oleh pemerintah, tetapi tidak ada yang berhasil. Secara drastis, pemerintah DKI Jakarta saat itu akhirnya menetapkan jumlah pasien DBD sebagai tolak ukur kinerja pemerintah daerah, dari tingkat lurah, camat sampai walikota.
“Kalau di kelurahan, di kecamatan atau di level walikota, jumlah demam berdarah sekian, lurahnya bisa turun pangkat, bahkan dipecat. Untuk enggak dipecat, maka gubernur dan walikota turun ke kelurahan-kelurahan,” cerita Saleha.
Bersama dengan Sylviana dan Dr dr Leonard Nainggolan, SpPD-KPTI; Saleha pun melakukan tur dari kelurahan ke kelurahan untuk melakukan peninjauan upaya pemberantasan DBD. Tur ini juga diikuti oleh lurah dan camat yang secara aktif menggalakkan warganya untuk mengikuti anjuran Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN).
Setelah melakukan kegiatan ini selama satu semester, upaya mereka membuahkan hasil. Jakarta Pusat terbebas dari penyakit yang telah menghantuinya selama puluhan tahun.
Pemberantasan vektor terpadu
Sayangnya usai kegiatan tersebut dihentikan, angka DBD naik kembali.
Saleha berkata bahwa melakukan PSN dari rumah ke rumah memang bukan pekerjaan mudah. Tidak semua rumah mau membukakan pintunya bagi petugas dan mengikuti anjuran tersebut.
Akan tetapi, keberhasilan itu membukakan harapan untuk upaya pemberantasan vektor terpadu yang melibatkan advokasi ke pejabat pemeritah, kerjasama berbagai sektor (khususnya sektor kesehatan), riset, pendekatan terpadu, dan peningkatan kemampuan.
Pendidikan akan DBD dan PSN juga harus dimasukkan ke kurikulum, misalnya dengan mengajak anak-anak mewarnai gambar nyamuk dan membersihkan sekolah. Hal ini telah dilakukan di Kuba dan berhasil mengentaskan negara itu dari DBD.
Di samping itu, pemerintah juga harus tetap melakukan pemberantasan vektor, yang dalam kasus DBD adalah nyamuk Aedes aegypti, empat bulan sebelum dugaan terjadinya musim DBD atau musim hujan.
Pemberantasan secara cepat adalah fogging atau pengasapan yang hanya dilakukan ketika kejadian luar biasa (KLB). Namun, pemberantasan yang lebih efektif adalah dengan melaksanakan PSN.
PSN ini tidak hanya mencakup 3M plus, yaitu menguras, menutup, dan mengubur wadah air. Namun juga berbagai upaya lainnya, mulai dari menggunakan tanaman yang anti nyamuk seperti zodia; ikan pemakan larva seperti ikan cupang, ikan kepala timah dan ikan cere; larvisida seperti temefos sampai obat oles pengusir nyamuk seperti diatoluamid atau minyak kayu putih.
Hindari juga tanaman yang terlalu rimbun atau yang bisa menampung air karena bisa menjadi tempat perkembangbiakan dan persembunyian nyamuk.
Targetnya, jumlah kejadian (incidence rate) demam berdarah kurang dari 5 persen per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematiannya kurang dari satu persen. Pada saat ini, yang sudah tercapai adalah angka kematian yang hanya 0,9 persen, tetapi target jumlah kejadiannya masih perlu ditingkatkan.
Lalu, frekuensi KLB juga harus kurang dari lima persen, dan house indexnya kurang dari lima persen juga. House index merupakan angka yang menunjukkan presentase rumah yang ditemukan Aedes aegypti.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/14/180700523/pernah-ada-masanya-jakarta-pusat-bebas-dari-dbd-ini-ceritanya