Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gonjang-ganjing Dunia Peneliti, Membedah Reorganisasi LIPI

Dana penelitian Indonesia hanya dua persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun di sisi lain, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengkritik bahwa dana riset diecer-ecer.

Tidak maksimalnya kinerja dunia riset Indonesia menggerakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan reorganiasi.

Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengungkapkan, reorganisasi yang digagasnya bakal mengatasi akar masalah kegiatan penelitian selama ini sehingga membantu Indonesia mengejar ketertinggalan.

Namun upaya reorganisasi itu memicu polemik. 30 Januari 2019 lalu, sejumlah peneliti LIPI protes ke DPR dan meminta Kepala LIPI diturunkan dari jabatannya. Sementara pesan berantai dari staf dan peneliti LIPI sampai ke Whatsapp para wartawan.

Kompas.com mewawancara Kepala LIPI pada Rabu (31/1/2019) lalu untuk memahami rencana reorganisasi LIPI dan membaca visi lembaga riset itu dalam mengatasi tantangan inovasi, digital, dan komunikasi publik.

Bisa dijelaskan, bagaimana sebenarnya rencana reorganisasinya?

Reformasi birokrasi, reorgasinasi, bukan hanya tren tetapi kewajiban. Itu harapan semua orang, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat. Wajib bagi semua kementerian lembaga.

Dalam konteks penelitian, yang harus dilakukan secara internal adalah melakukan perbaikan pelayanan sehingga untuk LIPI, risetnya menjadi bagus.

Perbaikan internalnya kalau kita adalah mengubah proses bisnis internal yang mendukung penelitian, yaitu soal administrasi penelitian.

Apa akar masalah yang mau diselesaikan?

Seperti yang sering diungkapkan, peneliti dibebani administrasi. Harus membuat laporan keuangan, misalnya. Ini membuat kinerja peneliti tidak efektif.

Akibat ada pekerjaan administratif, karir peneliti terhambat karena produktivitasnya tidak maksimal. Di sisi lain, ketika mengerjakan administrasi, kurang profesional.

Dalam reorganisasi, satuan penelitian itu kita lepaskan dari beban administrasi. Kenapa kita lakukan itu? Karena itu yang jadi ujung pangkal masalah. Untuk melakukannya, maka kita harus mengubah struktur.

Di setiap satuan kerja sekarang ada Kepala Tata Usaha-nya, Kepala Sub Bagian, rentek pokoknya. Jadi, banyak pejabat strukturalnya.

Dalam reorganisasi ini, pejabat struktural kita kurangi. Tadinya bisa 10 atau bahkan lebih di setiap satuan kerja, sekarang maksimal hanya tiga. Lembaga penelitian memang harus banyak fungsionalnya.

Lalu, pegawai administrasinya kita distribusi ulang. Tadinya, di setiap unit ada semua, sekarang kita tarik semua ke layanan satu atap di bawah Sekretaris Utama.

Keuntungannya, peneliti fokus. Urusan administrasi juga lebih profesional. Kita juga punya pool of talent baru. Makanya saya bingung kok ditangkap berbeda.

Ada berapa layanan satu atap nanti? Bagaimana kerjanya?

Di semua lokasi yang ada pusat penelitian LIPI akan ada layanan. Contoh di Jakarta akan ada satu di Gatot Subroto yang akan menangani 13 unit. Di Cibinong juga ada dan akan melayani delapan.

Orang-orangnya adalah orang Sekretaris Utama (yang tadinya pegawai adminstrasi - red).

Perubahan ini memang besar. Tadinya ada pegawai yang enak di satu ruangan selama 20 tahun jadi harus pindah.

Tapi, itulah tujuan kita sebenarnya. Kita ingin orang punya perpindahan sehingga, baik secara pribadi maupun institusi, juga lebih dinamis.

Kita akan distribusi administrasi ke kawasan jadi tidak akan overload.

LIPI nanti akan punya empat biro internal (Umum, Kepegawaian, Humas dan Kerjasama) dan empat biro eksternal (LIPI Press, Pusat Inovasi, dan lainnya).

Apa dampak pada beban kerja tenaga pendukung riset?

Selain distribusi tadi, ya tidak ada. Administrasi kan memang tugasnya ya begitu. Soal beban kerja juga begitu.

Sudah ada rumusan analisis beban kerja. Nantinya akan relatif terukur. Kita sudah lakukan survei online untuk melihat preferensi tiap orang. Itu dari April 2018. Kita punya talent pool, bisa pilih orang terbaik.

Reorganisasi ini malah menguntungkan bagi pegawai administrasi karena mereka bisa punya kesempatan untuk berkarya sesuai passion-nya.

Kita sudah berikan kuesioner online ke setiap pegawai. Pastinya tidak semua akan terakomodasi, tetapi kita berusaha untuk menempatkan sesuai minatnya.

Administrasi pendukung juga akan punya karir, bisa naik hingga di tingkat madya. Sebelumnya, karena hanya melayani sedikit orang, tidak memungkinkan untuk naik, tingkat pertama saja tidak bisa. Bebannya terlalu kecil.

Apakah ada PHK?

Tidak ada. PHK PNS itu tidak mudah.

KPI (Key Performance Indicator) -nya nanti?

Nah dengan sistem baru kita bisa buat KPI. Sekarang kalau ada yang mau layanan, pegawai admin harus buka tiket layanan. Di situ, kita bisa beri penilaian.

Misalnya, untuk pegawai yang benar-benar administrasi, kita bisa lihat berapa lama dia menyelesaikan satu tiket dan bagaimana hasilnya.

Kita juga bisa trace masalah, hambatannya di mana. Jadi semua akan lebih transparan. Kalau dulu kan, ada masalah bisa dilempar-lempar. Kinerja penelitian kadang terganggu.

Kapan organisasi dengan struktur baru ini efektif?

Struktur ini sudah efektif sejak 8 Januari 2019. Personalan tenaga administrasi sekarang lagi proses. Memindahkan 2.500 orang ke 25 lokasi kan tidak mudah. Lokasi layanan satu atapnya nanti kan akan ada di 25 lokasi.

Default-nya, tidak ada pemindahan pegawai administrasi ke kota yang berbeda. Namun kalau ada yang ingin pindah, dan ternyata ada yang seperti itu, kita bisa penuhi.

Bagaimana perubahan ini bisa membuat dana penelitian lebih optimal?

Kalau sekarang jadi clear. Kalau dulu kan pusat penelitian tidak maju, misalnya karena ada pemotongan anggaran.

Dulu, ada perjalanan orang bawa berkas dari Ambon ke Jakarta misalnya. Itu kan biaya. Nah, itu dipotong dari anggaran penelitian. Padahal, anggaran yang dia peroleh itu kan harusnya hanya untuk riset.

Dengan struktur baru ini, jika kita ajukan anggaran Rp 3 miliar, maka Bappenas dan Kementerian bisa firm (atau) yakin bahwa itu untuk penelitian.
 
Selama ini, 60 persen buat administrasi. Kalau dengan yang baru ini, semua untuk penelitian. Kita bisa memastikan 100 persen Insya Allah untuk riset.

Sama saja dong sebab dana penelitian tidak akan naik drastis...

Tidak benar bahwa dana penelitian tidak akan naik drastis. Benar jika itu yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Tapi, kita sebenarnya bisa mengupayakan sumber lain, misal dari grant.

Selama ini grant masih terbatas. Mungkin itu juga masalah kapasitas kita yang belum mampu membuat proposal yang meyakinkan industri dan pemberi grant.

Dengan membuat peneliti fokus pada riset, diharapkan kita bisa membuat proposal yang lebih baik sehingga mendapatkan grant lebih besar.

KPI penelitinya nanti jadi apa?

Kita akan susun nanti, belum kita rilis. Sudah saya mintakan ke tiap kedeputian. Setiap bidang punya karakter yang beda.

Ada yang belum keluar, misal dari sosial. Kalau belum keluar, saya akan pakai dari regulasi berdasarkan jabatan.

Misalnya, satu periode 4 tahun itu paling enggak ada dua jurnal terindeks global atau patent granted atau buku terbitan scientific public house.

Adakah yang baru?

Kita tidak ada. Orang sosial pilih buku. Orang engineering pilih jurnal atau paten. Silahkan saja.

Komunikasi publik apakah jadi KPI?

Itu bukan KPI peneliti. Tapi, dapat kredit kalau mau melakukan. KPI peneliti kan riset. Intinya, harus melakukan riset maka KPI-nya yang itu.

Sekarang sudah lebih baik. Dulu tidak ada kesetaraan paten dengan jurnal. Makanya, gejalanya ada (yang) meledek hanya menghasilkan kertas.

Komunikasi publik bukankah perlu? Apalagi sekarang di era digital.

Jelas. Tapi itu bukan tugas peneliti. Kalau di struktur sekarang, itu tugasnya humas dan orang Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII). Itu mereka yang akan komunikasikan. Sumbernya dari peneliti. Datanya dari peneliti.

Hanya saja, kadang yang dibutuhkan adalah peneliti. Misalnya, untuk tulisan konten di web LIPI yang sekarang lebih banyak tulisan seremonial.

Itu akan jadi tugas humas. Peneliti itu susah banget nulis. Orang humas yang punya background science communication akan melakukan itu. Teman-teman humas dan pusat data itu akan wawancara peneliti dan mengemas. Kalau penelitinya bisa menulis, monggo. Tapi itu enggak bisa jadi KPI peneliti. Kalau jadi KPI, nanti jadi wajib.

Jumlah target publikasi dengan setelah reorganisasi ini bagaimana? Apakah akan bertambah?

Kita rencanakan begitu. Tadi kan dua kalau ikut regulasi. Kalau bisa fokus, ya mestinya harus menambah. Itu yang belum kita keluarkan. Dalam proses. Kita masih sibuk di administrasi pendukung.

Bagaimana dengan kenaikan karier penelitinya?

Penelitinya kan naik tidak tergantung struktur. Kenaikan tergantung pada produktivitasnya. Jadi sekarng miskin struktur, kaya fungsi. Untuk naik ya tinggal produktif aja. Kalau bisa menghasilkan KPI 4 tahun dalam setahun, itu dia bisa langsung naik. Kalau ada yang mau balapan ya monggo aja terserah.

Dengan reorgasinasi, apakah persentase dana untuk penelitian lebih besar? Sebelumnya kan dikatakan sebagian besar untuk gaji pegawai.

Secara keseluruhan enggak berubah. Tapi sebenarnya ada beberapa yang punya kesempatan untuk pindah instansi. Pustakawan bisa jadi pindah instansi ke Perpustakaan Nasional. Mungkin bisa berkurang beban pegawai. Cukup lumayan yang minta.

Apa perubahan lain yang terjadi?

Fungsi PDII itu salah satu yang akan berubah. Lebih fokus pada digital, bukan koleksi fisik lagi. Karena koleksi fisik itu kan overlapping dengan Perpusnas. Tapi ya kita sesuaikan. Yang ilmu sosial kita, justru lengkap koleksi fisiknya. Tapi secara umum pengembangannya nanti bakal lebih digital PDII. Tugas kita ke repository dan depository data ilmiah.

Reorganisasi ini juga memungkinkan LIPI lebih banyak menerima diaspora. Penerimaan diaspora sudah kita lakukan sejak tiga tahun belakangan sebenarnya.

Masalah kita kan banyak peneliti berkarier di luar negeri. Kalau kita minta kembali tanpa menyediakan tempat untuk mereka, ya tidak bisa.

Sekarang kita yakin bahwa LIPI bisa menjadi tempat bagi diaspora. Kita punya kapasitas untuk menyediakan infrastruktur penelitian yang memadai. Peneliti khususnya hard science kan harus ada orang dan alat.

Problem penelitian kita itu kan critical mass-nya rendah. Kita merasa ada yang bikin baterai, ada yang bisa bikin mobil listrik; satu orang di sana dan di sini.

Sementara pada kompetitor kita, satu tim 30 orang doktor semua. Jelas tidak apple to apple kompetisinya. Itu hampir semua bidang, khususnya hard science. Itu yang mengakibatkan global innovation index kita itu rendah.

Critical mass tidak hanya untuk sumber daya manusia, tetapi juga untuk alat. Alat kita juga tersebar. Ketiga adalah dana. Rp 300 juta di situ. Rp 100 juta di sini. Jadi, untuk buat sesuatu ya tidak bisa.

Kalau bicara dari sudut critical mass, istilah Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani "diecer ecer" itu ya tidak salah. Rp 25 triliun itu tidak kecil ya tidak salah.

Apa reorganisasi ini bisa atasi masalah itu?

Salah satu yang kita bisa pecahkan adalah soal alat. Kita buka infrastruktur LIPI untuk semua orang. Critical mass untuk infrastruktur itu bisa diselesaikan. Usulan alat baru bisa dipenuhi asalkan ada target. Selama ini, kerap ada alat bagus tapi idle.

Adanya alat ini juga akan memacu kolaborasi antar-peneliti. Kita juga pasang target tinggi untuk peneliti.

Dulu, peneliti dinilai dengan sistem kredit. Akhirnya, banyak yang mengakali dengan menulis di jurnal dan publikasi yang kurang berdampak. Sekarang kita pakai sistem portfolio. Harus ada yang di jurnal berdampak besar. Kalau bagus, angkanya bisa 50. Tapi angka itu sulit dan hanya bisa dicapai kalau berkolaborasi.

https://sains.kompas.com/read/2019/02/07/173000423/gonjang-ganjing-dunia-peneliti-membedah-reorganisasi-lipi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke