Hal ini setidaknya diakui oleh pendiri rumah sakit Nakuru di Kenya, Elizabet Ndung'u.
"Sebagian besar pasien datang untuk melakukan konseling setelah mereka didiagnosis pada stadium akhir. Hal ini sangat mengkhawatirkan, ditambah kendala keuangan dan trauma yang berkontribusi pada tingginya angka kematian," kata Ndung'u dilansir Standard Digital, Senin (4/2/2019).
Dia mencontohkan, saat meresepkan obat morfin untuk menghilangkan rasa sakit, banyak pasiennya yang tidak mampu membelinya.
Hal yang sama juga terjadi saat pasien diwajibkan menjalani sesi kemoterapi atau radioterapi. Mereka kesulitan melakukan pembayaran.
"Layanan CT Scan, kemoterapi, dan radiologi mahal. Itulah sebabnya banyak pasien yang meninggal tanpa menjalani perawatan. Pasien diresepkan membeli obat untuk menghilangkan rasa sakit, tapi mayoritas tidak mampu," ujar Ndung'u.
Menurut catatannya, pada 2016 ada 210 pengidap kanker di Nakuru yang meninggal dunia. 17 di antaranya merupakan pejuang kanker serviks.
Ndung'u berharap, Pemerintah dapat mulai melakukan subsidi untuk layanan terapi kanker yang bertujuan mengurangi jumlah kematian yang tinggi.
Hal ini mungkin tidak hanya untuk Nakuru, Kenya, tapi seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
https://sains.kompas.com/read/2019/02/04/130730523/telat-diagnosis-dan-biaya-jadi-tantangan-utama-pengobatan-kanker