Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bersama Menanggulangi "Stunting"

Orangtua menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya tahun demi tahun, dengan harapan dan doa akan masa depan yang cerah dan cita-cita tinggi. Andaikan saja demikian cerita dan nasib setiap anak Indonesia.

Tiga puluh persen anak balita di Indonesia terancam kondisi stunting yang dapat menghambat pertumbuhan fisik maupun perkembangan kemampuan kognitif dan intelektual anak.

Kondisi stunting disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan asupan nutrisi selama 9 bulan saat anak di dalam kandung ibu atau selama masa pertumbuhan kritis, yaitu 1.000 hari pertama dalam hidup anak.

Gawatnya, kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berkonsekuensi bukan saja di usia kecil anak, tetapi berdampak pada sepanjang hidupnya.

Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabet, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi.

Pemerintah menyadari betul persoalan ini dan telah menjadikan penanggulangan stunting sebagai prioritas nasional.

Di bawah pengarahan langsung Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah mencanangkan program percepatan penanggulangan stunting melalui Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) 2018-2024, yaitu sebuah strategi jangka panjang terintegrasi yang mengedepankan konvergensi upaya intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

Penanganan stunting dilakukan dengan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan organisasi kemasyarakatan, dan pada tahun 2019 difokuskan di 160 kabupaten/kota prioritas.

Persoalan stunting atau pertumbuhan anak yang terhambat (kekerdilan) merupakan masalah global yang dihadapi banyak negara. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2016 sekitar 155 juta (23 persen) anak di dunia mengalami stunting.

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa pada 2018 prevalensi balita yang mengalami stunting sebesar 30,8 persen, atau lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia.

Upaya pemerintah menanggulangi stunting telah cukup membuahkan hasil. Data Riskesdas menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir angka prevalensi stunting turun cukup signifikan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018.

Namun demikian, target yang ditetapkan pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2014-2019), yakni menurunkan prevalensi stunting menjadi 29 persen di tahun 2018 dan 28 persen di tahun 2019, belum tercapai.

Oleh karena itu, upaya penanggulangan stunting perlu terus ditingkatkan agar hasilnya lebih maksimal.

Masa depan yang direnggut oleh stunting

Jika tidak ditangani dengan baik, persoalan stunting yang masif dapat menganggu produktivitas nasional dan mengancam masa depan generasi muda dan bangsa. Stunting berdampak negatif pada daya tahan dan kecerdasan anak secara jangka panjang.

Studi yang dilakukan oleh McDonald CM dkk (2013) atas negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa tingkat kematian anak yang mengalami stunting dan kekurangan berat badan tiga kali lebih besar ketimbang anak dengan gizi memadai.

Adapun studi yang dilakukan Grantham-McGregor dan Baker-Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa mereka di sekolah.

Jika kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah akibat stunting, bonus demografi yang diprediksi akan dinikmati pada kurun 2030-2040 berpotensi menjadi petaka alih-alih karunia.

Seperti disampaikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), persoalan stunting diperkirakan dapat menyebabkan hilangnya 3 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau sekitar Rp 300 triliun. Angka ini setara dengan 13,8 persen proyeksi pendapatan negara tahun 2019.

Stunting tidak bisa disembuhkan, tapi bisa dicegah

Sebagai masalah bersama bangsa, persoalan stunting harus dihadapi secara bersama pula oleh seluruh elemen bangsa.

Kolaborasi pemerintah dengan aktor non-pemerintah diperlukan guna memastikan upaya mengatasi stunting berjalan efektif dan membuahkan hasil yang optimal.


Pengalaman Peru dan Vietnam mengajarkan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, sektor swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam memastikan keberhasilan penanggulangan stunting.

Vietnam menyusun rencana aksi untuk percepatan pengentasan stunting dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan serta melibatkan lembaga legislatif dalam diskusi tentang nutrisi yang menghasilkan suatu kebijakan nasional terintegrasi disokong oleh undang-undang tentang nutrisi.

Sementara itu, Peru melalui program "Crecer/To Grow" mendistribusikan tanggung jawab implementasi ke kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah yang bekerja sama erat dengan masyarakat madani dan LSM serta kalangan swasta dan donor.

Secara garis besar, ada dua jenis intervensi yang dapat dilakukan melalui upaya bersama seluruh pemangku kepentingan untuk menanggulangi stunting.

Pertama adalah intervensi gizi spesifik, yaitu aktivitas yang secara langsung menyasar ibu hamil/menyusui dan anak, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Kegiatan intervensi ini biasanya bersifat jangka pendek dan dilakukan dalam lingkup sektor kesehatan, seperti pemberian ASI eksklusif dan penggunaan pangan olahan untuk keperluan medis khusus (PKMK).

Kedua adalah intervensi gizi sensitif, yaitu intervensi yang dilakukan melalui berbagai kegiatan di luar sektor kesehatan murni dengan sasaran masyarakat umum.

Contoh kegiatan yang dilakukan adalah memastikan ketersediaan akses terhadap air bersih, sanitasi, dan jaminan sosial serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya higienitas bagi keluarga miskin.

Agar maksimal, kegiatan intervensi gizi spesifik dan sensitif seyogianya melibatkan peran serta aktor non-pemerintah dalam sebuah kolaborasi tripartit yang sinergis, yaitu antara pemerintah, kalangan usaha, dan masyarakat sipil.

Dari sisi kalangan usaha, peran yang dapat dimainkan setidaknya ada tiga. Yang pertama sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan program dan kegiatan yang menyasar penanggulangan stunting.

Kalangan usaha dapat memanfaatkan keahlian, teknologi, infrastruktur, dan jaringan yang mereka miliki untuk mendukung program pemerintah agar dapat menjangkau seluruh pelosok negeri.

Hal ini terutama berlaku bagi kalangan usaha yang bergerak di sektor kesehatan, pendidikan, dan pangan karena kaitannya yang langsung dengan persoalan stunting.

Kedua, sebagai penyandang dana untuk membiayai program dan kegiatan penanggulangan stunting yang pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat sipil, seperti LSM, organisasi kemasyarakatan, perangkat desa.

Dari sudut pandang pengusaha, penyaluran dana untuk program penanggulangan stunting bukan semata-mata kegiatan karitatif, melainkan juga investatif.

Sebuah studi yang dilakukan J Hoddinott dkk tahun 2013 (International Food Policy Research Institute) memperkirakan bahwa setiap 1 dollar AS yang dikeluarkan untuk menanggulangi stunting di Indonesia mendatangkan imbal balik ekonomis sebesar 48 dollar AS. Kue ekonomi tersebut tentunya akan turut dinikmati oleh kalangan usaha.

Ketiga, sebagai penyelenggara mandiri program dan kegiatan penanggulangan stunting dengan sasaran geografis spesifik yang sejalan dengan prioritas pemerintah dan selaras dengan kepentingan bisnis.

Pada tahun 2019, sebanyak 160 kabupaten/kota direncanakan akan menjadi prioritas pemerintah untuk penanggulangan stunting.


Keterlibatan lebih intens kalangan usaha di daerah tertentu akan memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah untuk memperhatikan daerah lain yang tidak dirambah oleh kalangan usaha.

Kalangan usaha di sektor layanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit swasta, dapat diberi peran lebih besar dalam upaya bersama pencegahan stunting.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang diolah oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), jumlah rumah sakit di seluruh Indonesia tercatat berjumlah 2.820 (per April 2018). Jumlah itu terdiri dari 1.016 rumah sakit pemerintah dan 1.804 rumah sakit swasta.

Melalui jejaring, layanan kesehatan ibu dan anak, fasilitas sarana dan prasarana, serta sumber daya dokter dan tenaga kesehatan yang mereka miliki, rumah sakit swasta dapat menjadi mitra pemerintah, di antaranya dalam kampanye dan edukasi tentang perbaikan gizi serta praktik baik dalam intevensi gizi, antara lain suplementasi dan konseling gizi.

Perspektif gender

Kebijakan penanggulangan stunting tak pelak harus menyasar ibu sebagai target demografis utama.

Hal ini mengingat selain sebagai orangtua yang mengandung dan menyusui, ibu juga berperan lebih besar dalam merawat anak usia dini di masyarakat Indonesia pada umumnya.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa intervensi yang dilakukan bukan semata-mata menyasar aspek peran bawaan perempuan (seperti kesehatan ibu hamil dan ASI eksklusif), melainkan juga pemberdayaan perempuan secara lebih luas.

Berbagai studi yang dilakukan di negara-negara Asia dan Afrika menunjukkan adanya asosiasi antara pemberdayaan perempuan dan tingkat prevalensi stunting.

Di Laos, misalnya, kemungkinan seorang anak mengalami stunting lebih kecil jika sang ibu memiliki akses lebih besar atas layanan kesehatan, rasa penghargaan diri, dan kendali atas uang.

Dengan kata lain, semakin besar otonomi ibu, semakin kecil kemungkinan anak mengalami stunting.

Banyak ahli sepakat bahwa aspek-aspek seperti akses terhadap pendapatan, keterlibatan dalam pengelolaan keuangan keluarga, dan kewenangan dalam pengambilan keputusan oleh perempuan berperan penting dalam mengatasi masalah gizi masyarakat.

Oleh karena itu, program penanggulangan stunting harus memiliki perspektif gender dan dibingkai dalam kerangka pemberdayaan perempuan yang lebih luas.

Seperti layaknya masalah-masalah lain di dunia ini, persoalan stunting hanya dapat diatasi dengan memberdayakan perempuan di dalam masyarakat maupun dalam keluarga untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Stunting adalah persoalan serius yang dapat merampas hak dasar anak atas kesehatan dan tumbuh kembang yang baik.

Jika tidak ditangani dengan benar, yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan hidup anak-anak kita dan bangsa Indonesia di masa mendatang.

Oleh karena itu, kita berkewajiban untuk bersama-sama menanggulangi persoalan stunting melalui kolaborasi yang erat, terpadu, dan terencana dengan baik melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

https://sains.kompas.com/read/2019/01/30/112313423/bersama-menanggulangi-stunting

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke