Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Dokter di Perbatasan, Wajib Mengabdi Minim Apresiasi

Kita memang tidak dapat membandingkan secara pasti apakah hal tersebut benar atau tidak.

Bagi dokter, berbeda tempat penempatan maka berbeda pula pendapatannya. Sementara pada juru parkir, semakin luas lahan parkir yang dimiliki maka semakin banyak juga pemasukannya.

Dalam artikel sebelumnya kita telah membahas tentang pendapatan dokter, baik dari Ketua IDI dan seorang dokter yang ditempatkan di salah satu kota di pulau Jawa.

Kepada Kompas.com, ada satu lagi dokter yang tidak mau disebutkan namanya bercerita tentang kisah pengabdiannya di daerah perbatasan.

"Sebenarnya tidak lebih kecil dari tukang parkir mobil juga. Hanya saja mungkin apresiasinya yang masih kurang," kata dokter tersebut mengawali kisahnya kepada Kompas.com, Selasa (15/1/2019).

Sama seperti dokter lainnya, narasumber Kompas.com tersebut juga menjalani Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) yang harus dilakukan semua lulusan kedokteran umum.

Ini merupakan program pemandirian dokter baru lulus (sudah lulus S1 dan lulus profesi, sudah memiliki gelar dokter) yang bertujuan untuk menyelaraskan hasil pendidikan di bangku kuliah dengan kondisi di lapangan.

"Kalau tidak (dilakukan) maka STR (Surat Tanda Registrasi) kami tidak bisa keluar," ujarnya.

STR dokter merupakan dokumen hukum atau tanda bukti tertulis bagi dokter dan dokter spesialis bahwa yang bersangkutan telah mendaftarkan diri dan telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia.

Baginya, PIDI sangat bagus untuk pemerataan tenaga dokter di berbagai wilayah.

"Hanya saja apresianya kurang. Semua dokter internsip hanya mendapat bantuan hidup dasar (BHD), yang mungkin nominalnya pada 2016 sekitar Rp 2,1 juta di pulau Jawa dan sekitar Rp 2,5 juta dari Kemenkes apabila ditempatkan di daerah terpencil atau sangat terpencil," ucapnya.

"Kami tidak wajib mendapat jasa di luar BHD, sehingga terkadang saudara sejawat kami ya hanya bergantung dari BHD itu saja," sambungnya.

Ia menuturkan, mungkin beban itu tidak terlalu menjadi masalah jika seorang dokter menjalani PIDI masih di pulau Jawa.

Yang menjadi masalah adalah apabila ditempatkan di daerah terpencil dan hanya mendapat BHD. Pasalnya, harga kebutuhan pokok di daerah luar pulau Jawa tidak selalu sama dengan di pulau Jawa.

Narasumber Kompas.com bercerita, saat PIDI ia ditempatkan di Kalimantan. Memang tiket perjalanan menuju tempat pengabdian disediakan oleh Kemenkes, namun setelah itu semua harus diupayakan sendiri, termasuk tempat tinggal.

"Mungkin ini sepele, tapi benar terasa kami seperti sendiri di sana. Sempat BHD belum datang di tiga bulan awal di kalimantan, (artinya) tiga bulan awal tanpa gaji. Ini bagi fresh graduate yang suddah tidak terima dana dari orangtua bisa jadi masalah, kita memang ada tabungan, tetapi itu sudah terpakai untuk modal awal cari rumah kontrakan sendiri, perabotan, dan lain lain," katanya. 

"Pada akhirnya saya harus hutang sana sini hanya untuk makan, akhirnya semuanya dibayarkan rapel di bulan selanjutnya."

Beruntung, rumah sakit tempatnya bertugas memberi jasa di luar BHD yang menurutnya lebih dari cukup.

"Mengingat anggota PIDI tidak diwajibkan mendapat bantuan di luar BHD, bisa dibayangkan apabila gaji tiga bulan telat dan hanya bergantung pada BHD, ditambah mungkin dokter internsip bukan berasal dari keluarga kaya," ceritanya.

"Paradigma sebagian masyarakat bahwa dokter pasti dari kalangan orang kaya mungkin bisa menjadi masalah yang cukup serius," sambungnya.

Ia kembali menegaskan bahwa dirinya mendukung program internsip dari pemerintah untuk pemerataan tenaga dokter.

Namun ia berharap, hal tersebut lebih diapresiasi terutama kepada dokter yang bersedia ditempatkan di wilayah yang tidak diinginkan kebanyakan orang.

Hal ini tidak lain agar pemerataan tenaga dokter bisa terealisasi di seluruh wilayah Indonesia suatu saat nanti.

"Sekali lagi itu hanya gambaran pengalaman pribadi saya selama menjadi dokter dan belum tentu menggambarkan semua dokter," katanya.

"Saya tidak bermaksud menyalahkan pihak tertentu, saya mengerti sepenuhnya bahwa tenaga dokter sangat diperlukan, sehingga saya coba menjalaninya dengan baik, dengan apresiasi yang ada sekarang. Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi, salam saya dari perbatasan," tutupnya.

https://sains.kompas.com/read/2019/01/15/190200423/kisah-dokter-di-perbatasan-wajib-mengabdi-minim-apresiasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke