Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Erupsi Gunung Anak Krakatau Benar-benar Berhenti?

Apakah benar Gunung Anak Krakatau tiba-tiba berhenti erupsi dan tidak lagi menunjukkan adanya fluktuasi getaran?

Menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi Kasbani selaku Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Ia memaparkan, Gunung Anak Krakatau masih aktif hanya saja aktivitasnya sudah menurun.

"(Erupsi) Belum (berhenti), aktivitasnya masih tinggi. Namun dibandingkan hari-hari sebelumnya memang ada penurunan," ujar Kasbani kepada Kompas.com.

Aktivitas GAK yang disebut menurun oleh Kasbani antara lain tidak ada lagi suara dentuman, frekuensi letusan berkurang, dan kini hanya menyisakan sedikit getaran tremor.

"Erupsi masih ada, cuma memang tidak sebanyak sebelumnya. Memang intensitasnya sudah mulai berkurang tapi belum benar-benar berhenti," katanya lagi.

Meski aktivitas menurun, Kasbani mengatakan status GAK saat ini masih ada di Level III (Siaga).

Untuk itu, Kasbani menghimbau masyarakat untuk tidak mendekati kawah dalam radius 5 km dari kawah.

Diwartakan kantor berita Antara News, Minggu (30/12/2018), PVMBG menyampaikan terima kasih kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) atas pemantauan visual distribusi abu (lateral dan vertikal) erupsi Gunung Anak Krakatau via Satelit Himawari dan radar cuaca.

Informasi ini sangat vital untuk mengetahui aktivitas erupsi manakala para pengamat PVMBG di Pos Pasauran sulit melakukan pengamatan karena gunung tertutup kabut di musim hujan seperti saat ini. Kondisi cuaca yang buruk menyebabkan  pelaporan tinggi kolom abu tidak akurat.

Berdasarkan laporan Windi Cahya Untung, staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG Pos Pengamatan Pasauran Gunung Api Krakatau periode pengamatan Sabtu (29/12/2018) pukul 00.00 sampai dengan 23.59 WIB, ketinggian Gunung Anak Krakatau kini tinggal 110 meter dari permukaan laut.

Sebelumnya,  ketinggian GAK mencapai 338 meter di atas permukaan air laut.

Ke depan, PVMBG mengingatkan untuk mendorong adanya persiapan mitigasi, merapatkan pengamatan seismik, edukasi bencana sejak dini, menjaga alat-alat yang sudah ada, dan masih banyak lagi pekerjaan rumah (PR) untuk ke depannya.

Kita harus segera membenahi itu semua dan melakukannya secara bertahap.

BMKG juga menyatakan saat ini sudah ada sirine Tsunami Early Warning System (TEAS) untuk menyampaikan peringatan dini tsunami di wilayah Lampung tepatnya 1 di Kalianda, Lampung Selatan, dan 1 di Kota Agung, Tanggamus. Namun perlu untuk diketahui bahwa sirine masih berbasis gempa tektonik dan untuk mendeteksi tsunami.

Tentunya ini sangat jauh dari cukup, karena bisa dilihat wilayah Lampung hampir sebagian besar memiliki pesisir pantai sehingga banyak sirine yang dibutuhkan agar mencakup semua wilayah di daerah ini.

BMKG mengimbau semua pihak tetap waspada, mengingat selama tahun 2018 telah tercatat 11.577 gempa bumi terjadi di seluruh Indonesia, termasuk Lampung dan Banten.

Hingga Sabtu (29/12/2018), menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) korban tsunami di Selat Sunda mencapai 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi. Kerugian material antara lain 1.778 unit rumah rusak, 78 unit penginapan dan warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak dan lainnya.

https://sains.kompas.com/read/2018/12/30/191944423/apakah-erupsi-gunung-anak-krakatau-benar-benar-berhenti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke