Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

BMKG Rilis Jumlah Gempa Selama 2018, Begini Tanggapan Para Ahli

KOMPAS.com - Badan Meteorlogi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merilis data gempa bumi yang terjadi di Indonesia.

Menurut rilis tersebut, sepanjang tahun 2018, telah terjadi peningkatan aktivitas gempa bumi yang signifikan di Indonesia dibandingkan tahun sebelumnya.

Menanggapi data tersebut, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan peningkatan tersebut normal saja.

"Normal saja... Secara statistik di seluruh dunia setiap tahun ada 900 ribu gempa skala kurang dari 2,5; 30 ribu gempa skala 2,5-5,4; 500 gempa skala 5,5-6,0; 100 gempa 6,1-6,9; 20 gempa skala 7,0-7,9; dan 1 gempa skala lebih dari 8 setiap 5-10 tahun," ungkap Eko melalui pesan singkat, Sabtu (29/12/2018).

Hal senada juga diungkapkan oleh pakar kegempaan LIPI Danny Hilman Natawidjaya. Menurut Danny, peningkatan jumlah gempa yang terjadi bukan sesuatu yang istimewa.

"Pasti setiap tahun ada variasi (jumlah gempa). Tahun sekarang lebih banyak, tahun kemarin lebih sedikit," ungkap Danny.

"Namanya juga fluktuasi. Masa sama terus setiap tahun, kan enggak," imbuhnya.

Irwan Meilano, pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menyatakan hal yang sama. Dia menyatakan fluktuasi gempa seperti yang dilaporkan BMKG merupakan hal yang wajar.

Meski begitu, Irwan menggarisbawahi tentang beberapa gempa besar yang menyumbang banyak jumlah kejadian.

"Secara statistik itu kan seluruh gempa, baik itu gempa utama maupun gempa susulan. Salah satu yang membuat data tersebut banyak adalah gempa besar (yang terjadi tahun ini)," ungkap Irwan.

"Misalnya gempa Lombok saja ada tiga gempa besar kemudian diikuti dengan ribuan gempa susulan. Menrut saya itu yang berkontribusi banyak terhadap jumlah gempa tahun ini, termasuk juga gempa Palu," sambung Irwan.

Pakar kegempaan ITB itu juga menjelaskan ada pola penting yang didapatkan dari data BMKG tersebut.

"Ada pola penting, secara statistik, jumlah gempa besar (di atas 6) lebih banyak terjadi di Indonesia bagian Tengah dan Timur," ujar Irwan.

"Kalau tahun-tahun sebelumnya kita fokus pada gempa di daerah Sumatra, kemudian kita mendapatkan fakta bahwa tahun ini gempa besar banyak terjadi di wilayah Tengah dan Timur," tambahnya.

Gempa Tahun Depan

Ketika ditanya mengenai jumlah potensi gempa bumi yang mungkin terjadi pada tahun 2019, Irwan mengaku hal tersebut sulit diprediksi.

"Itu yang sulit. biasanya statistik gempa itu secara umum kalau diambil jutaan tahun, berubahnya tidak pernah terlihat naik terus atau turun terus," kata Irwan.

"Kita tidak tahu nih tahun depan seperti apa. Tidak pernah tahu akan seperti apa," tegasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Danny. Menurutnya, hingga kini belum ada yang bisa memprediksi gempa bumi akan terjadi.

Edukasi Potensi Gempa

Meski tidak bisa diprediksi, Danny mengungkapkan bahwa kita bisa melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi potensi gempa.

Danny menegaskan pula, persiapan kegempaan merupakan persiapan jangka panjang.

"Harus jangka panjang, menyangkut pendidikan, rumah tahan gempa, tata ruang, dan lain sebagainya," ucap Danny melalui sambungan telepon.

"Saat ini pengetahuan gempa bumi di Indonesia masih sangat minim sekali... Pada intinya, pendidikan gempa bumi di Indonesia itu harus dilakukan secara masif," imbuhnya.

Pakar gempa dari LIPI ini menuturkan bahwa sebenarnya usulan untuk pendidikan kegempaan ini telah lama dilontarkan. Menurutnya, pendidikan kegempaan harus masuk kurikulum pendidikan sejak sekolah dasar (SD).

"Sama seperti di Jepang lah, anak-anak SD itu sudah paham sumber gempa bumi, tsunami, gunung api," ujar Danny.

"Kita itu kan termasuk sangat banyak gunung apinya, lebih dari Jepang. Jadi satu hal yang sangat ironis, kalau di kita itu pendidikan tentang kebencanaan sangat minim," sambungnya.

Sependapat dengan Danny, Irwan juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, pengetahuan mengenai potensi bencana sangat penting.

"Kita harus memahami sumber gempa dengan lebih baik," kata Irwan.

"Karena dari tadi, 11.000 gempa yang terjadi, tidak semua kita pahami sumbernya. Seperti gempa 2010 itu, sebenarnya kita tidak terlalu clear mengenai sumber gempanya," imbuh Irwan.

Untuk konteks masyarakat, Irwan menyebut bahwa sebelum berbicara mitigasi kita perlu mengedukasi masyarakat terkait potensi bencana di daerahnya.

"Mitigasi itu produk akhir, yang seharusnya dipahami dari awal adalah ancaman seperti apa. Jadi potensi atau risiko bencana itu seperti apa," kata Irwan.

"Jadi saya berharap itu ada dukungan pemerintah. Pemerintah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ada risiko lho, misalnya tinggal di wilayah selatan Jawa Barat ada risiko gempa yang berpotensi tsunami," imbuhnya.

Baru jika informasi tersebut sudah tersampaikan degan baik, program mitigasi dilakukan. Seperti kalau membangun pemukiman jangan dekat dengan pantai.

"Karena masyarakat kan komponen bangsa yang awam. Kekuatan itu kan ada di pemerintah. Jadi menurut saya harus memberikan informasi yang jelas baru program mitigasi yang dilakukan," tegasnya.

Pembangunan Berbasis Aspek Kebencanaan

Selain itu, Irwan juga menyarankan pemerintah memperhatikan potensi bencana di daerah dalam pembangunan.

"Membangun infrastruktur yang sesuai dengan risikonya. Itu yang sering kita lihat misalnya di daerah Lombok, masih banyak sekolah-sekolah dan fasilitas publik tidak tahan gempa," jelas Irwan.

"Kita harapkan tahun depan dibangun sesuai dengan potensinya. Jadi, ketika terjadi gempa kita sudah siap dengan risikonya," tambahnya.

Danny juga menyayangkan bahwa saat ini kebijakan pemerintah malah tidak memprioritaskan aspek kebencanaan.

"Karena mitigasi itu kan menyangkut investasi. Kalau salah-salah menempatkan investasi di tempat rawan bencana, amblas itu investasinya juga," tutur Danny.

"Jadi mitigasi kebencanaan itu harus disatukan dengan rencana pembangunan, tidak bisa dipisahkan," tegasnya.

Di era pembangunan seperti sekarang, Danny menegaskan seharusnya pemerintah memperhatikan aspek kebencanaan ini. Sayangnya, bagi Danny, masih banyak masyarakat dan pejabat yang belum peduli terkait aspek tersebut.

Sependapat dengan dua pakar lainnya, Eko juga menyebut pembangunan berbasis aspek kebencanaan memang penting. Eko menyarankan pembangunan ini bukan hanya pada pemerintah saja, tapi di masyarakat juga.

"Saya menyarankan Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat program intensif kampanye ruang aman: Satu Keluarga Satu Ruang Aman," kata Eko.

"Ini hal yang paling mudah dilakukan oleh semua orang setidaknya untuk mengurangi korban jiwa akibat gempa bumi," imbuhnya.

Menurut Eko, ruang aman ini bisa benar-benar berupa sebuah ruangan (misalnya ruang tidur) yang diperkuat sehingga bisa digunakan untuk berlindung ketika terjadi gempa.

"Bisa juga hanya kamar mandi yang diperkuat supaya tidak terlalu mahal, atau bahkan perabot seperti meja atau tempat tidur yang diperkuat sehingga dapat digunakan dari robohnya bangunan dan atap yang roboh akibat gempa," tegasnya.

Data BMKG

Sebelumnya, BMKG merilis data mengenai jumlah gempa bumi yang terjadi di Indonesia selama 2018.

"Berdasarkan data gempa di Pusat Gempa Nasional BMKG, selama tahun 2018 di
wilayah Indonesia terjadi aktivitas gempa sebanyak 11.577 kali dalam berbagai magnitudo dan kedalaman," tulis Rahmat Triyono, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG.

"Sementara pada tahun 2017 jumlah aktivitas gempa yang terjadi hanya 6.929 kali," imbuhnya.

Dengan kata lain, selama tahun 2018 telah terjadi peningkatan jumlah aktivitas gempa yang drastis di Indonesia, yaitu 4.648 kejadian gempa tektonik.

https://sains.kompas.com/read/2018/12/30/120500723/bmkg-rilis-jumlah-gempa-selama-2018-begini-tanggapan-para-ahli

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke