Bencana yang berdampak pada beberapa wilayah di Lampung dan Banten ini juga memakan korban yang cukup besar. Dalam informasi terakhir yang disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, korban luka tercatat sebanyak lebih dari 600 orang, meninggal lebih dari 200 orang, belum lagi korban hilang.
Bencana yang kemungkinan disebabkan oleh kegiatan vulkanis Anak Krakatau ini, tampaknya kurang diwaspadai oleh masyarakat di sekitarnya. Hal ini berbeda dengan tsunami di Sulawesi Tengah yang didahului oleh dua gempa bumi dengan magnitudo 6 dan 7.4.
Guncangan gempa yang cukup kuat itu membuat masyarakat yang tinggal di pantai waspada dan sempat menyingkir ke tempat-tempat yang tinggi. Sehingga menghindarkan jumlah korban yang lebih besar, yang sebelumnya sudah cukup banyak akibat gempa bumi.
Namun tidak demikian halnya dengan tsunami di Selat Sunda. Aktivitas gunung berapi Anak Krakatau yang terjadi sebelumnya tampaknya tak dirasa, sehingga tak banyak masyarakat mengetahui bahwa gulungan ombak besar telah melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke pantai-pantai di Lampung dan Banten.
Video yang menampilkan serangan tsunami di saat sebuah band sedang beraksi di panggung menunjukkan bahwa masyarakat tidak menduga datangnya bencana secara tiba-tiba. Akibatnya fatal, ratusan orang menjadi korban.
Bencana alam adalah kehendak Tuhan dan pasti akan terjadi. Namun tanda-tanda alam umumnya telah terlihat sebelum bencana terjadi.
Sebelum tsunami di selat Sunda misalnya, seorang saksi sempat melihat surutnya air laut di belakang Hotel Marina Anyer pada jam 19.00 (Kompas.com 23/12/2018). Ini adalah salah satu indikasi umum munculnya tsunami sebagaimana yang sering disampaikan para ahli.
Sayangnya, selain pengamatan dari saksi yang bersangkutan, tak tampak sistem yang mengetahui tanda-tanda alam ini. Sangat berbeda dengan kasus tsunami Palu, di mana sistem peringatan dini yang tidak berfungsi menjadi salah satu isu.
Dari berbagai berita tentang tsunami di Palu, informasi yang disampaikan oleh BNPB adalah: 22 buah buoy yang merupakan salah satu penghasil data masukan peringatan dini sudah tidak berfungsi sejak 2012. Informasi ini merupakan pengulangan informasi sebelumnya yang pernah disampaikan oleh Sutopo Purwo Nugroho (Kompas.com, 16/12/2017).
Hal ini tidak ditampik oleh ketua BMKG Dwikorita Karnawati yang menyatakan bahwa pemerintah, khususnya BMKG, memang tidak menggunakan lagi 22 buah buoy tersebut sejak tahun 2008.
Namun sistem peringatan dini yang ada dianggap memadai karena menggunakan pemodelan komputer yang data masukannya diambil dari ratusan sensor gempa yang dipasang di berbagai wilayah Indonesia.
Dengan menggunakan sensor gempa yang terdiri dari seismograf (mengukur besarnya gempa), GPS (mengukur lokasi gempa), dan tide gauge (mengukur ketinggian air laut), data masukan saat terjadi gempa langsung dikirim ke BMKG untuk dilakukan pemodelan matematik dengan menggunakan komputer.
Hasilnya dapat diperoleh dalam waktu 2 menit. Peringatan baru disampaikan pada masyarakat, setelah hasil dari komputer ditelaah oleh pakar selama 5 menit. Menurut ketua BMKG cara ini juga dilakukan saat terjadi gempa di Donggala dan Palu (Detik.com 06/10/2018).
Namun, seperti pernah disampaikan beberapa ahli termasuk Louise Comfort, seorang ahli manajemen bencana dari University of Pittsburgh di Amerika, efektivitas sensor gempa ini dianggap kurang karena tidak mampu mengukur perubahan yang terjadi di dasar laut.
Oleh karenanya Louise yang telah membicarakan perihal pemasangan jaringan sensor bawah laut di sekitar Sumatera bersama tiga instansi di Indonesia, menyayangkan tertundanya kerjasama karena belum adanya kesepakatan (Detik.com 01/10/2018).
Mengabaikan penggunaan 22 buah buoy dan sistem yang ditawarkan oleh Louise Comfort sebenarnya memang sangat disayangkan. Ini karena kedua sistem tersebut menggunakan teknologi wireless sensor network (WSN) yang manfaatnya sudah banyak dirasakan di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara maju.
Teknologi yang penelitian dan pengembangannya telah dilakukan secara intensif sejak akhir 1990-an hingga akhir 2000-an ini, kini sudah menjadi teknologi yang mature dan dimanfaatkan di berbagai aplikasi seperti pertanian, kesehatan, industri, militer, teknik, transportasi, olahraga, dan banyak lagi.
Pemanfaatannya pun akan semakin bertambah dengan berkembangnya penggunaan internet of things (IoT) di berbagai bidang.
Tanpa mengecilkan fungsi alat-alat ukur dan deteksi yang selama ini telah digunakan, kehadiran teknologi WSN telah terbukti memperkuat fungsi sistem-sistem yang ada.
Pemodelan matematis dengan komputer akan semakin akurat karena bertambahnya variabel-variabel ukur yang sebelumnya tidak bisa didapatkan.
Dalam kaitannya dengan deteksi dini tsunami dan eksplorasi kekayaan bawah air, berbagai jaringan sensor nirkabel bawah permukaan air / underwater wireless sensor network (UWSN) telah dipasang di beberapa negara.
Di Amerika Serikat, contohnya, sepuluh buoy dipasang di perairan Pasifik dan lima buoy di perairan Atlantik/Karibia untuk mendukung sistem The Deep-ocean Assessment and Reporting of Tsunamies (DART) sebagai sistem peringatan dini tsunami bagi rakyat Amerika Serikat.
Selain memasang buoy, sistem yang dioperasikan oleh badan nasional administrasi oseanik dan atmosferik (NOAA) ini juga menempatkan sensor bawah air (diberi nama tsunamometer) yang terhubung dengan jangkar untuk mengukur tekanan air di dasar laut.
Termasuk di dalamnya adalah kemampuan sistem untuk mendeteksi false alarm dan evakuasi yang tidak perlu.
Di Australia, UWSN dipasang di Great Barrier Reef, sebuah area terumbu karang yang luas, untuk memantau kesehatan terumbu karang dengan mengukur suhu air dan kecerahan cahaya di bawah permukaan laut.
CSIRO, badan penelitian Australia, juga memasang UWSN di beberapa perairan Australia untuk mengamati kondisi lautnya.
Sistem ini bahkan digabung dengan penggunaan autonomous underwater vehicle (AUV) yang mampu melakukan perjalanan observasi bawah laut secara mandiri sesuai dengan program yang diberikan.
Sementara itu, UWSN dan pemodelan dengan komputer dikembangkan di Spanyol untuk memetakan jumlah ikan di suatu daerah. Tak ketinggalan, Indiapun juga membangun dua sistem berbasis UWSN yang ditujukan untuk memonitor polusi dalam laut serta memantau kehadiran kapal selam negara asing.
Melihat berbagai aplikasi yang dikembangkan oleh negara-negara tersebut, Indonesia juga layak membangun UWSN-nya sendiri karena memiliki laut yang luasnya 70 persen dari keseluruhan wilayahnya.
Menjaga kesehatan laut dari polusi, mengeksplorasi kekayaan laut, mengeksploitasinya dengan bijak, dan menjaga kedaulatan laut Indonesia, adalah daftar pekerjaan yang harus kita lakukan. UWSN akan sangat membantu dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Bagi Indonesia, membangun WSN tidak selalu harus dimulai dengan membeli sistem yang dikembangkan di luar negeri. Sistem-sistem seperti ini sudah pasti dijual mahal karena mereka telah mengeluarkan modal besar untuk membiayai penelitiannya.
Teknologi yang digunakan dalam WSN sesungguhnya cukup mudah untuk dikuasai oleh anak bangsa sendiri.
Beberapa paper yang terdapat di jurnal maupun konferensi menunjukkan bahwa mahasiswa, dosen, dan peneliti di Indonesia telah mampu merancang sistem-sistem dengan teknologi ini.
Masalahnya, seberapa besar niat pemangku kepentingan seperti pemerintah dan masyarakat industri dalam memberi kepercayaan pada mereka untuk mengimplementasikan sistem tersebut.
Potensi yang besar ini masih terpecah-pecah, timbul kemudian tenggelam karena tidak disatukan dan tidak berkesinambungan. Maka, sangat kita harapkan agar pemanfaatan teknologi WSN ini segera digaungkan untuk menyatukan semua potensi anak bangsa demi membangun sistem WSN hasil anak negeri. (Dr Ir Prihadi Murdiyat, MT; Peneliti WSN dan lulusan Curtin University Perth Australia)
https://sains.kompas.com/read/2018/12/28/185748123/menimbang-underwater-wireless-sensor-network-sistem-peringatan-dini-untuk