Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sempat menyatakan dalam akun Twitter-nya bahwa gelombang itu hanya akibat purnama.
Namun, keterangan pers dari Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono kemudian menyatakan bahwa yang terjadi adalah tsunami. BMKG lantas menghapus pernyataannya di Twitter.
Rahmat mengatakan, tsunami yang terjadi dengan ketinggian tertiggi 0,9 meter itu misterius karena belum diketahui sebabnya. Umumnya, tsunami disebabkan oleh aktivitas tektonik atau gempa.
Namun, pendataan BMKG pada Sabtu mengungkap bahwa tak ada gempa di sekitar Banten dan Lampung yang bisa memicu tsunami.
Ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko yang melakukan kaji cepat mengungkapkan, ada indikasi tsunami tersebut disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau.
"Kemungkinan besar terjadi flank failure/collapse akibat aktivitas Anak Krakatau petang ini dan akhirnya menimbulkan tsunami," katanya.
Jika benar hal itu sebabnya, maka fenomena ini masih bisa berulang. "Aktivitas Anak Krakatu belum selesai dan flank atau collapse yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com Minggu (23/12/2018) dini hari.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Wawan Irawan yang dihubungi Kompas.com mengatakan bahwa Anak Krakatau memang mengalami erupsi pada Sabtu pukul 18.43 WIB, terpantau dari Pos Pengamatan Gunung Api Pasauran.
Meski demikian, dia beranggapan bahwa erupsi Anak Krakatau terlalu kecil untuk menimbulkan gelombang besar.
"Saya pikir gelombang tinggi lebih karena pasang laut saja, karena kalau gelombang tinggi karena letusan gunung api perlu letusan yang sangat besar atau karena longsoran tubuh gunung api," jelasnya.
Hal yang sama diungkapkan oleh ahli geologi Surono yang juga dihubungi Kompas.com.
https://sains.kompas.com/read/2018/12/23/013621323/ahli-bppt-ada-indikasi-gelombang-pasang-dipicu-erupsi-anak-krakatau