Menjawab pertanyaan itu, Kepala bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono menegaskan tidak ada hubungannya.
"(Gunung Soputan erupsi) akibat banyak gempa kuat terjadi di sekitar Soputan dalam dua bulan terakhir," terang Daryono kepada Kompas.com, Rabu (19/12/2018).
Berdasar data dari sumber resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, data aktivitas gunung Soputan sejak Agustus hingga awal Oktober 2018 mengalami peningkatan signifikan.
Berikut analisis Daryono yang juga Vice President Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI) Divisi Mitigasi Bencana Kebumian terkait aktivitas Gunung Soputan.
Pada 3 Oktober 2016 pukul 01.00 WITA tingkat aktivitas Gunung Soputan dinaikkan dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga). Periode erupsi Gunung Soputan kemudian terjadi pada 3 sampai 4 Oktober 2018.
Setelah itu aktivitas Gunung Soputan cenderung mengalami penurunan, namun pada Sabtu (15/12/2018) mulai pukul 17.00 WITA data seismik menunjukkan adanya peningkatan yang cepat dan signifikan.
"Peningkatan kegempaan terus terjadi dan akhirnya pada Minggu 16 Desember 2018 pukul 01.02 WITA terekam gempa letusan dengan amplitudo maksimum 40 mm (overscale) dengan durasi 598 detik, disertai suara gemuruh yang terdengar dengan intensitas lemah-sedang dari Pos Pengamatan Gunung Soputan yang berada di Silian Raya (sekitar 10 km di sebelah Baratdaya puncak Gunung Soputan)," tulis Daryono dalam analisis resminya yang diterima Kompas.com.
Pada hari Minggu 16 Desember 2018 sekitar pukul 03.09 WITA teramati sinar api di atas puncak Gunung Soputan dan tinggi kolom erupsi ± 3.000 m di atas puncak (± 4.809 m di atas permukaan laut) dengan kolom abu berwarna kelabu dan intensitas tebal.
Selanjutnya pada pukul 05.40 WITA tinggi kolom erupsi ± 7.000 m di atas puncak (± 8.809 m di atas permukaan laut) dengan kolom abu berwarna kelabu dan intensitas tebal.
Gempa Tektonik
Secara tektonovolkanik, aktivitas gempa bumi signifikan yang terjadi di sekitar gunung api dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme.
Meningkatnya aktivitas sebuah gunung api dapat berkaitan dengan dinamika tektonik di sekitar kantung magma.
"Dalam hal ini peristiwa guncangan gempa signifikan dapat memicu meningkatnya aktivitas magmatik gunungapi," jelas Daryono.
Ia menambahkan, hal tersebut hanya bisa terjadi bila gunung api sedang dalam keadaan aktif, yakni magma sedang cair dan banyak kandungan gasnya.
"Jika tidak aktif, maka aktivitas gunung api cukup sulit dipicu oleh gempa tektonik," jelasnya.
Akumulasi medan stress yang berlangsung terus menerus di zona gunung api dapat meningkatkan aktivitas gunungapi.
Stress-strain akibat gempa bumi yang berlangsung bertubi-tubi di sekitar gunung api dapat menekan cebakan reservoir magma.
Aktifnya gunungapi dimulai ketika berlangsungnya induksi perambatan stress-strain dari aktivitas seismik yang luar biasa.
Dalam hal ini gempa kuat yang terjadi dekat gunungapi dapat menciptakan stress-strain yang memicu terjadinya perubahan tekanan hingga menyebabkan naiknya magma.
"Aktifnya gunung api juga dapat disebabkan oleh adanya perubahan tekanan gas yang cukup besar," ujarnya.
Tingginya frekuensi aktivitas gempa kuat dekat gunung api menjadi "input motion" yang menyebabkan terjadinya pergerakan gas di kantung magma.
Beberapa aktivitas gempa signifikan dekat gunung api mampu mengubah tekanan gas dapur magma.
Fenomena ini dapat dianalogikan seperti botol minuman soda yang dikocok hingga menimbulkan gelembung-gelembung gas yang kemudian bergerak naik, selanjutnya menekan ke atas dan melepaskan tutup botol hingga terjadi letupan.
Jika kita perhatikan peta tektonik Semenanjung Minahasa, di sana tampak adanya sebuah jalur subduksi Sangihe ke arah barat menunjam di bawah Semenanjung Minahasa di mana Gunung Soputan tumbuh dan berkembang.
Di wilayah tersebut hingga Laut Maluku menurut Daryono banyak terdapat sebaran episentrum gempa bumi.
"Di zona ini dalam kerangka tektonik, selain terdapat jalur subduksi juga terdapat jalur Sesar aktif yang terdapat di daratan semenanjung Minahasa," terangnya.
Dengan kondisi tataan tektonik yang sedemikian kompleks, maka wilayah Semenanjung Minahasa menjadi kawasan seismik aktif dengan frekuensi kegempaan yang tinggi di Indonesia.
Di zona seismik yang aktif inilah Gunung Soputan akan terus menjadi gunungapi yang aktif.
7 Kali Gempa Tektonik
Tingginya aktivitas gempa tektonik di sekitar Gunung Soputan tercermin dari tingginya frekuensi gempa bumi signifikan yang sering mengguncang Semenanjung Minahasa.
Sebagai gambaran tingginya aktivitas gempa, dalam waktu sekitar 2 bulan terakhir saja telah terjadi 7 kali peristiwa gempa bumi signifikan (M>5,0).
Berikut ini adalah rentetan aktivitas gempa tektonik di sekitar Minahasa menjelang erupsi Gunung Soputan pada 16 Desember 2018 lalu, yaitu: (1) Gempa 13 Oktober 2018 M=5,2 (2) Gempa 25 Oktober 2018 M=5,1 (3) Gempa 11 November 2018 M=5,1 (4) Gempa 20 November 2018 M=5,3 (5) Gempa 21 November 2018 M=5,3 (6) Gempa 4 Desember 2018 M= 5,4 dan (7) 11 Desember 2018 (M=5,2).
Jika aktivitas vulkanisme merupakan bagian dari rangkaian kegiatan tektonik, maka kita dapat katakan bahwa aktifnya Gunung Soputan tentu tidak lepas dari pengaruh aktivitas gempa tektonik yang terjadi secara beruntun di sekitarnya.
Data aktivitas gempa signifikan di atas kiranya sudah cukup untuk membuktikannya. Keberadaan dapur magma Soputan menjadi labil karena dalam beberapa waktu terakhir terus menerus mendapatkan pukulan dan tekanan dari gelombang seismik akibat gempa tektonik yang terjadi hingga terjadi erupsi pada hari Minggu lalu.
Sebagai penutup, tampaknya perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk mengungkap secara empiris kaitan aktivitas gempa tektonik dan erupsi gunung api.
"Terkait dengan erupsi Gunung Soputan, maka kepada seluruh warga dihimbau tetap tenang, tidak terpancing isu dan berita bohong, serta mentaati zona larangan yang sudah ditetapkan oleh yang berwenang," tegas Daryono.
https://sains.kompas.com/read/2018/12/19/083509923/bukan-karena-gempa-palu-ini-penyebab-gunung-soputan-erupsi