Penurunan signifikan ini diyakini ikut menyebabkan air bergerak secara tiba-tiba yang kemudian menerjang daratan.
Lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa mereka setelah gempa dan tsunami menerpa Palu dan sekitarnya. Saat itu, para peneliti mengaku cakupan gelombang tersebut mengejutkan mereka.
Namun, hasil awal dari berbagai investigasi yang dikumpulkan di pertemuan Persatuan Geofisika Amerika di Washington DC pada 10-14 Desember 2018 perlahan mengungkap misteri dari fenomena ini.
Gempa terjadi pada patahan sesar geser (strike-slip fault), di mana dua lempeng bumi berbenturan dan salah satu lempeng terus bergeser secara horisontal. Konfigurasi ini umumnya tidak dikaitkan dengan tsunami besar.
Akan tetapi, inilah yang terjadi pada 28 September menjelang maghrib.
Dua gelombang besar terpantau dan yang terakhir merupakan gelombang terbesar, menjangkau daratan sejauh hampir 400 meter.
Udrekh Al Hanif dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan kepada pertemuan Persatuan Geofisika Amerika bahwa sumber tsunami semestinya berjarak sangat dekat dengan Kota Palu mengingat interval antara gempa dan munculnya gelombang besar hanya berkisar kurang dari tiga menit.
Dia dan rekan-rekannya berupaya mencari jawabannya pada peta kedalaman laut (bathymetric) di teluk sempit yang mengarah ke Palu.
Tim tersebut masih berupaya menemukan hasil-hasilnya, namun data mengindikasikan dasar laut di sebagian teluk merosot akibat gempa.
Udrekh berkata, kejadian ini digabungkan dengan gerakan lempeng secara tiba-tiba ke arah utara, hampir dipastikan menimbulkan tsunami.
"Ketika kami mencocokkan data bathymetric sebelum dan sesudah (tsunami), kami bisa melihat bahwa hampir semua bagian dasar laut di dalam teluk menjadi anjlok. Dari data ini, kami juga bisa memantau (pergerakan) ke utara. Dengan demikian, sebenarnya, ada pergeseran vertikal dan horisontal," kata Udrekh Al Hanif kepada BBC.
Apakah fenomena ini cukup menjelaskan ukuran tsunami, masih dipertanyakan.
Sebab bukti pada data menunjukkan adanya beberapa longsor bawah air. Ini juga dapat menjadi faktor penentu.
Kemungkinan lainnya adalah gerakan dasar laut yang mengarah ke atas di sebuah kawasan dekat Palu, tempat patahan sesar geser terpecah ke jalur berlainan.
Pergerakan secara bersamaan pada kedua jalur boleh jadi menekan lempengan yang berada di antaranya.
"Kejadian ini sangat tidak umum, namun tektonik memberitahu kita bahwa ini bisa terjadi lagi," kata Finn Løvholt from the Norwegian Geotechnical Institute.
"Memang ini bukan kejadian pertama di Palu. Mungkin ini kejadian ketiga atau keempat yang menimbulkan banyak korban. Ada kejadian yang mirip pada 1960-an dan 1920-an."
Sejarah ini tampak jelas pada budaya lokal. Di Sulawesi Tengah, ada beberapa kata spesifik untuk menggambarkan tsunami dan gempa.
Kata 'nalodo', misalnya, berarti amblas dihisap lumpur. Kata ini klop untuk menjelaskan peristiwa likuifaksi, manakala tanah berubah seperti bubur sehingga semua bangunan di atasnya amblas.
Hermann Fritz, dari Georgia Institute of Technology di Amerika Serikat, mengatakan bencana Palu menunjukkan tantangan yang dihadapi warga setempat.
"Tsunami ini tiba dengan sangat cepat, hanya dalam beberapa menit," ujarnya.
"Akibatnya tidak ada waktu untuk peringatan. Itu sangat berbeda dari Jepang (pada 2011), yang ada banyak waktu, lebih dari 30 menit sampai orang pertama meninggal akibat tsunami. Itulah tantangan pada tsunami lokal ini, orang harus mengevakuasi sendiri."
Widjo Kongko, juga dari BPPT, mengemukakan ada semacam sikap berpuas diri setelah latihan kedaruratan digelar di Palu pada 2012.
"Peringatan menyebut untuk pergi ke dataran lebih tinggi dalam 5-10 menit. Orang harus paham bahwa tsunami bisa datang jauh lebih cepat."
https://sains.kompas.com/read/2018/12/11/170000323/petunjuk-penting-soal-tsunami-palu-ditemukan-di-dasar-laut-apa-itu