KOMPAS.com - Sebagian besar wilayah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir telah diguyur hujan lebat. Di musim seperti saat ini, salah satu barang yang menjadi incaran dan laris di pasaran adalah payung.
Benda satu ini berguna untuk melindungi dari air hujan. Bahkan peribahasa menyebutkan, "sedia payung sebelum hujan".
Terlepas dari arti peribahasa tersebut, hal ini membuktikan bahwa payung merupakan salah satu penemuan penting bagi sejarah manusia.
Penemuan ini bermula pada keinginan manusia 4.000 tahun lalu untuk melindungi diri dari sinar matahari.
Saat itu, moyang manusia mengikat beberapa daun bersama dan meletakkannya di atas kepala mereka. Untuk penemuan awal ini, kita mungkin harus berterima kasih pada orang China.
Simbol Status
Sejarawan China yang menelusuri asal-usul payung menyebut, selain kegunaannya untuk melindungi diri dari sinar matahari dan hujan, benda tersebut juga digunakan sebagai penanda pangkat dan status selama kekaisaran.
Tak hanya itu, di China pada masa tersebut, payung juga menjadi simbol kekuatan dan kekayaan. Semakin besar payung dan kian banyak orang yang harus membawanya, itu berarti status sosial yang berteduh makin tinggi.
Dalam salah satu fragmen sejarah tertulis, ketika seorang kaisar tertentu pergi berburu, ada 24 orang yang berjalan di depannya untuk membawa payung.
Bukti lain bahwa payung pernah menjadi penanda pangkat adalah warna yang digunakan.
Hanya keluarga kekaisaran yang diizinkan menggunakan payung berwarna kuning dan merah. Sedangkan warga sipil hanya diperkenankan menggunakan warna biru.
Tuntutan Gaya Hidup
Selain di China, 3.000 tahun lalu, payung juga menjadi benda yang dikembangkan oleh orang Mesir Kuno. Sama seperti di China, benda ini berguna untuk menunjukkan status sosial.
Saat itu, payung hanya dibuat untuk kaum bangsawan saja. Payung digunakan untuk melindungi bangsawan dari sinar matahari karena saat itu gaya hidup yang berkembang menuntut kulit pucat.
Payung Tahan Air
Seperti yang telah disebutkan, mulanya payung dibuat untuk melindungi dari sinar matahari. Pada awalnya, payung tidak tahan air.
Payung paling awal dibuat dari sutra, baru kemudian berganti bahan dari kertas.
Selanjutnya, untuk membuat efek tahan air, orang China melapisi kertas payung dengan lilin atau lak. Sementara itu, bingkai dan pegangannya terbuat dari kulit pohon murbei atau bambu.
Sekitar tahun 11 Sebelum Masehi (SM), China berhasil mengembangkan payung dari kulit hewan. Saat itu, benda ini berharga sangat tinggi dan hanya digunakan oleh bangsawan.
Menyebar ke Eropa
Payung yang pertama menyentuh Eropa berasal dari Mesir. Gaya hidup Mesir Kuno saat itu menyebar ke Yunani dan Romwai.
Benda ini secara ekskusif digunakan oleh perempuan kaya.
Pada masa tersebut, populasi laki-laki di Eropa memandang payung sebagai produk feminin. Mereka justru bangga ketika bisa bertahan menghadapi terik matahari hanya bermodal topi dan mantel.
Jatuhnya Kekaisaran Romawi membawa berakhirnya tradisi membawa payung oleh para perempuan kaya. Selama 1.000 tahun, payung menghilang dari Eropa.
Payung kembali tenar pada akhir abad ke-16 atau masa Renaissance di Italia, Perancis, dan Inggris.
Kemungkinan masuknya kembali payung dalam mode dipengaruhi oleh cerita dan lukisan dari Asia (China) melalui jalur perdagangan darat.
Perubahan Tradisi
Tradisi membawa payung oleh perempuan Eropa terus berlangsung hingga pertengahan abad ke-18.
Ketika itu, Jonas Hanway mulai mengenalkan payung yang lebih kuat dan berorientasi pada laki-laki. Dalam 3 dekade saja, masyarakat Inggris mulai menerima payung sebagai aksesori umum.
Tren ini kemudian menyebar ke seluruh bagian Eropa.
Perkembangan Payung
Selanjutnya, payung modern terus berkembang. Bahan payung menjadi beraneka ragam.
Salah satu perkembangan payung dilakukan oleh Samuel Fox pada 1852. Fox menciptakan desain payung dengan rangka baja.
Pada 1928, Hans Haupt membuat purwarupa payung saku. Setahun kemudian, benda ini dipatenkan.
https://sains.kompas.com/read/2018/11/29/203300023/penemuan-yang-mengubah-dunia--payung-pelindung-hujan-dari-china