KOMPAS.com – Kanker paru-paru adalah semua penyakit keganasan yang terjadi pada jaringan paru-paru. Sayangnya, penyakit ini seringkali baru ketahuan ketika tumor ganas tersebut sudah berada stadium lanjut.
Hal ini, menurut Aryanthi Baramuli Putri selaku Ketua Cancer Information and Support Center (CISC), membuat kanker paru memiliki angka harapan hidup yang rendah, yaitu sebesar 12 persen jika dibandingkan dengan kanker lain.
Untuk meningkatkan kualitas pengobatan atau penambahan harapan hidup bagi penderita kanker paru, sebenarnya sudah ada personalized treatment berupa oncogenic driver testing yang bertujuan memeriksa pada Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) dan Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) untuk mendeteksi mutasi dari sel kanker paru tersebut.
Sayangnya, metode ini belum tersebar ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia. Menurut dr Alex Ginting S, Sp.P(K) dari RSPAD Gatot Soebroto, metode ini hanya tersedia di beberapa rumah sakit seperti Dharmais, Siloam, Persahabatan, dan beberapa rumah sakit besar lainnya.
“Ini pemeriksaan marker molekuler. Dengan ini, kita bisa tahu kanker tersebut obatnya apa. Karena dulu kita blind (buta) jadi kanker langsung dikasih kemoterapi saja. Tapi dengan mengetahui gen-nya kita bisa mengobati sesuai dengan molekulernya apa,” jelas Alex saat ditemui pada jumpa media memperingati bulan peduli kanker pada Rabu (28/11/2018), di Jakarta.
Senada dengan Alex, dr Evlina Suzanna, SpPA (K), dari Rumah Sakit Kanker Dharmais berkata bahwa dengan melakukan pemeriksaan EGFR dan ALK, akan dapat mengetahui apakah sel kanker bermutasi atau tidak, dan kromosom mana yang rusak sehingga memudahkan ahli untuk menentukan obat yang tepat bagi pasien kanker.
“Makanya ini disebut personalized karena jalur kerusakan genetiknya pada masing-masing pasien kanker paru berbeda-beda,” ujar Evlina saat ditemui pada kesempatan yang sama.
Selain hanya terbatas pada beberapa rumah sakit besar, metode pemeriksaan ini juga belum ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Padahal, pemeriksaan ini membutuhkan nominal rupiah yang tidak sedikit.
“Sekitar Rp 2-3,5 juta untuk satu kali pemeriksaan,” ungkap Evlina.
Meski hanya perlu dilakukan sekali, kedua kendala tersebut membuat banyak pasien kanker paru tidak dapat mengakses EGFR dan ALK. Oleh karena itu, Alex berharap pemerintah dapat memberikan perhatian khusus pada pentingnya pemeriksaan ini.
“Perkembangan teknologi selau berkembang. Tapi kita yang sering terlambat. Pemeriksaan ALK bisa menambah waktu hingga sampai 34 bulan bagi penderita kanker paru. Makanya perkembangan teknologi dan sains harus bisa dimaknai oleh stakeholder dan pemerintah. Jadi tidak perlu pergi ke benua lain untuk mendapat satu obat,” jelas Alex.
Tindak lanjut akan pasien kanker dirasa perlu mendapatkan perhatian yang serius. Berdasarkan data WHO, World Cancer Report tahun 2012, kanker paru-paru merupakan kanker yang paling umum ditemukan di dunia selama beberapa dekade. Setidaknya, ada dua orang di dunia yang meninggal dunia setiap menitnya akibat kanker paru-paru.
https://sains.kompas.com/read/2018/11/29/200400323/pemeriksaan-kanker-paru-ini-bisa-perpanjang-hidup-34-bulan-tetapi-