Studi terdahulu menunjukkan angka obesitas lebih banyak dialami oleh mereka dengan tingkat sosio-ekonomi tinggi. Namun, studi lain yang dilakukan Aizawa pada 2017 menunjukkan perubahan pola, di mana angka obesitas juga tinggi pada mereka dengan tingkat sosio-ekonomi rendah.
Hal inilah yang menarik perhatian Cahya Utamie Pujilestari, seorang mahasiswi PhD Jurusan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Klinis dari Universitas Umeå, Swedia, untuk terbang ke tanah air meneliti kasus tersebut.
"Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan sosio-ekonomi dan perbedaan gender pada obesitas perut (obesitas sentral), dan juga efek dari obesitas tersebut pada kelompok sosio-ekonomi dan gender berbeda," tulis Utamie dalam surat elektronik yang diterima Kompas.com, Selasa (27/11/2018).
Studi yang kemudian dikeluarkan dalam bentuk tesis untuk meraih gelar doktor itu menganalisis obesitas perut dari perspektif sosio-ekonomi dan kesetaraan gender.
Seperti diberitakan sebelumnya, Utamie mengacu pada empat studi dengan total 15.500 responden yang berasal dari kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebagian besar responden yang terlibat dalam penelitian berasal dari daerah pedesaan.
Dalam studinya, ia menemukan bahwa perempuan desa tujuh kali lebih mungkin memiliki obesitas perut dibanding pria.
"Perlu saya luruskan bahwa hasil penelitian menunjukkan prevalensi obesitas perempuan di Purworejo (dengan usia 50 tahun ke atas) tujuh kali lebih tinggi dibandingkan pria, dan (obesitas) lebih banyak pada mereka dengan tingkat sosio-ekonomi tinggi," kata Utamie.
"Namun, efek dari obesitas (dalam studi ini kami meneliti efek obesitas terhadap disabilitas dan kematian) lebih tampak pada mereka dengan tinggal sosio-ekonomi rendah," sambungnya.
Dalam penelitiannya, Utamie mengukur lingkar pinggang (waist circumference) dengan tolak ukur sebagai berikut, lebih dari 90 sentimeter untuk pria dan lebih dari 80 sentimeter untuk perempuan.
Sementara tingkat ekonomi rendah (miskin) diukur oleh analisis aset yang dimiliki, meliputi keadaan rumah, kepemilikan kendaraan, kepemilikan lahan, dan lain sebagainya.
"Analisis aset index inilah yang akan mengkategorikan status sosio-ekonomi," ucapnya.
Ia mengaku, dalam studinya ia tidak memiliki data tentang makanan apa saja yang dikonsumsi oleh masyarakat desan dengan tingkat ekonomi rendah, ataupun data aktivitas fisik.
Meski demikian, Utamie mengungkap bahwa hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di area yang sama menemukan bahwa faktor risiko kurang melakukan aktivitas fisik memegang peranan penting.
"Hasil penelitian tersebut (Ng N, et.al., 2009) menunjukkan bahwa prevalensi kurangnya aktifitas fisik pada Wanita lebih tinggi dibandingkan Pria," kata Utamie.
Konsekuensi ke depan
Dari hasil penelitiannya, Utamie melihat jika perempuan dengan tingkat ekonomi rendah mengalami obesitas, nantinya hal tersebut akan berhubungan dengan penyakit terkait kegemukan dan berujung pada pembiayaan kesehatan yang tidak murah.
Beberapa penyakit yang dimaksud Utamie antara lain gangguan metabolisme, penyakit jantung, diabetes, dan lain sebagainya.
Ia menambahkan, studinya juga menunjukkan hubungan antara kegemukan dengan disabilitas dan juga kematian, terutama pada kelompok dengan sosio-ekonomi rendah.
"Hal lain yang juga ingin saya garis bawahi adalah, selain berat badan, kita juga sangat perlu menjaga lingkar pinggang kita. Besarnya lingkar pinggang menunjukkan penumpukan lemak visceral (visceral fat), yang terbukti dapat menyebabkan sindrom metabolik. Gangguan metabolisme (metabolic syndrome) selanjutnya yang akan mengacaukan dan menyebabkan penyakit penyakit seperti diabetes dan jantung," tukasnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/11/27/203000923/kematian-karena-obesitas-lebih-banyak-dialami-warga-miskin