KOMPAS.com – Seekor paus sperma yang ditemukan dalam keadaan mati dan membusuk di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada Senin (19/11/2018) menggegerkan banyak pihak.
Terlebih lagi, ketika ditemukan banyak sampah plastik di dalam tubuh paus tersebut. Sontak membuat banyak orang berspekulasi tentang bagaimana mamalia laut yang berukuran 9,5 meter tersebut mati.
Temuan ini pun menjadi bukti kuat bahwa pada saat ini, Indonesia berada dalam masa darurat sampah plastik.
Pasalnya, lokasi kematian paus sperma tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut.
Dalam konteks Wakatobi, diakui oleh Anton Wijonarno, Manager Konsevasi Kawasan Laut untuk WWF Indonesia, TNP tersebut memang mengalami kemunduruan dalam sisi kebersihan lingkungannya.
“Kalau saya waktu dulu di Wakatobi dari 2005 sampai 2009, menyelam hampir setiap hari, tidak banyak menemukan sampah. Tapi 5 bulan yang lalu saya di Wakatobi, saya menyelam dikelilingi sampah,” jelas Anton saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Selasa (20/11/2018).
Namun menurut Anton, isu soal sampah plastik yang mencemari lautan bukan hanya terjadi di Wakatobi, melainkan di banyak perairan Indonesia.
“Jadi memang Indonesia itu darurat sampah. Satu sisi karena arus, yang kedua jumlah sampah yang semakin banyak. Jadi Wakatobi hanya contoh. Memang sekarang kalau menyelam di Wakatobi turun enggak ketemu sampah, terus naik ke permukaan tiba-tiba banyak sampah,” ujar Anton.
Hasil riset Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, pada tahun 2015 menyebutkan bahwa Indonesia menyumbang sampah plastik terbanyak nomor dua di dunia sebesar 187,2 juta ton. Artinya, Indonesia hanya kalah dari China yang menyumbang sampah plastik mencapai 262,9 juta ton.
Meski Indonesia telah berencana untuk mengurangi sampah plastik di laut sampai 75 persen pada 2025, beberapa pihak masih meragukan peraturan hukum yang cukup kuat untuk mewujudkannya. Terutama ketika sampah plastik dapat terbukti menjadi penyebab kematian paus sperma di Wakatobi ini.
Terlepas dari benar atau tidaknya sampah plastik sebagai pembunuh paus ini, Anton menegaskan bahwa dirinya tidak menyalahkan pihak yang menjadi pelaku pembuangan sampah, seperti wisatawan atau warga sekitar.
Namun, dia sangat berharap bahwa ini dapat menjadi teguran bagi masing-masing individu, meskipun bukan sebagai pelaku pembuang sampah.
“Kita tidak bisa menyalahkan wisatawan atau pun warga sebagai pelaku yang membuang plastik. Ini saatnya kita berubah, kita harus sadar. Plastik musuh bersama. Karena tidak hanya di laut saja, di sungai pun juga banyak yang membuang sampah ke sana,” ujar Anton.
“Kita harus berubah karena ini berdampak pada kehidupan lainnya. Ini yang ketahuan baru di paus, bisa saja nanti ketahuan di lumba-lumba dan penyu,” pungkas Anton.
https://sains.kompas.com/read/2018/11/22/181000423/paus-mati-di-wakatobi-bukti-nyata-indonesia-darurat-sampah-plastik