Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merunut Kisah Penemuan Dinding Gua Tertua di Kalimantan

Seperti diberitakan sebelumnya, temuan berharga dengan skala Internasional yang dilakukan Griffith University dan Institut Teknologi Bandung itu tidak hanya membuktikan gambar cadas atau lukisan figuratif yang berusia 5.000 tahun lebih tua dari pemegang rekor sebekumnya, yakni gambar cadas dari Sulawesi.

Para ahli juga memberi informasi pada kita, tentang tiga fase perkembangan zaman dan pergeseran budaya yang ditunjukkan lewat lukisan cadas. Mulai dari gambar yang fokus pada lingkungan sekitar menjadi hal-hal yang berbau pengalaman manusia.

Jumat malam (15/11/2018), Kompas.com sempat berbincang dengan salah satu tim peneliti dari ITB, Pindi Setiawan. Ia adalah ahli di bidang gambar cadas sekaligus dosen ITB.

Tidak seperti membangun seribu candi yang konon hanya perlu satu malam, Pindi dan timnya memulai penelitian ini sejak 1995.

"Kalau saya penelitiannya udah dari tahun 1995. Dari hasil penelitian itu, saya punya perkiraan bahwa gambar-gambar ini tidak mungkin lebih muda dari 6.000 tahun, kemungkinan bahkan bisa sampai 30.000 tahun," kata Pindi kepada Kompas.com melalui sambungan telepon.

Dalam memperkirakan usia gambar, awalnya Pindi menganalisis kapan terakhir kali hewan atau benda yang digambar pada dinding gua hidup atau masih digunakan.

Misalnya saja, ada gambar tapir yang diprediksi sudah punah sejak 6.000 tahun lalu, kemudian alat berburu pelontar tombak yang hanya bisa digunakan di padang savana dan tercatat mulai hilang sejak 8.000 tahun lalu, juga ada gambar trenggiling raksasa yang sudah punah 30.000 tahun lalu.

Hal ini mungkin masih menjadi perkiraan bila para arkeolog lain dari Griffith University tidak menemui Pindi di ITB.

Untuk diketahui, para ilmuwan dari Griffith adalah tim yang menganalisis umur gambar cadas di Sulawesi pada 2012. Mereka menemukan bahwa gambar cadas itu berusia sekitar 35.000 tahun.

Setelah melakukan diskusi tentang gambar cadas, mereka akhirnya sepakat untuk melakukan penelitian langsung ke Kalimantan dan melakukan penanggalan.

Melakukan survei di tahun 2017, Pindi bersama timnya mengaku semua gambar yang ada di gua kawasan Sangkulirang-Mangkalihat tidak bisa diambil. Hanya beberapa situs yang dirasa dapat memberi hasil maksimal yang diteliti.

"Kebetulan yang bisa diukur ada delapan titik, dan hasilnya yang sudah ditulis di (jurnal) Nature. 40.000 tahun untuk yang banteng dan (sebagai) gambar figuratif paling tua, warnanya merah. Lalu yang warnanya ungu ada cap tangan, (gambar) sosok manusia itu umurnya 20.000 sampai 9.000-an," jelasnya.

"Jadi, dari gambar yang diambil kita tidak hanya menemukan gambar yang paling tua, tapi juga ada dua masa (perubahan budaya)".

Selain dua jenis gambar yang berasal dari dua jaman berbeda, sebenarnya ada gambar lain yang usianya jauh lebih muda yang diperkirakan usianya 3.000 sampai 500 tahun lalu dan lebih muda dari 500 tahun.

Perbedaan budaya ditandai dengan warna dan simbol

Pigmen warna dalam lukisan ternyata menunjukkan perubahan budaya yang berbeda.

Pindi mengatakan, lukisan cadas yang berusia 40.000 tahun seperti pada gambar banteng memiliki warna merah, sementara yang 20.000 warnanya ungu.

"Dikira sama aja kan, ternyata beda," katanya.

Meski menghasilkan warna yang berbeda, yakni merah dan ungu, Pindi menyimpulkan keduanya berasal dari material yang sama.

"Kalau warna merah dan ungu sebenarnya materialnya sama, namanya Oker jenis hematit, hematite itu bentuk mineral besi (III) oksida (Fe2O3). Hematit ini ada yang bisa menghasilkan warna merah dan ungu tergantung besar partikelnya," katanya.

Sementara itu, gambar cadas yang usianya jauh lebih muda, yakni 3.000 sampai 500 tahun terbuat dari arang dan berwarna hitam. Gambar-gambar yang masuk dalam kelompok ini banyak yang berupa alat melaut seperti perahu.

"Kalau warna merah (banteng liar) kita sebut masa pemburu awal, kemudian yang ungu (gambar orang dan alat berburu pelontar tombak yang khas digunakan di savana) disebut pemburu tingkat lanjut karena sudah memakai alat, kalau hitam yang dari arang tampaknya mata pencahariannya sudah berladang dan dari manusia bahari atau maritim. Jadi ketiganya sudah beda banget zamannya," jelas Pindi.

Mencari jarum dalam jerami

Dalam melakukan penelitiannya, Pindi dan tim sebenarnya menemukan ratusan hingga ribuan gambar lukisan dinding. Namun, yang dapat dianalisis tidak sampai 20 sampel.

Menurut Pindi, ada beberapa syarat yang harus dimiliki gambar agar bisa diteliti.

Harus ada syarat khususnya. Pertama, kita melihat di atas gambar tumbuh batu atau lapisan kalsit.

"Di atas gambar tumbuh batu baru, seperti stalaktit. Bagian dari ornamen gua yang menutupi gambar. Kalau gambar sudah diapit oleh dinding karbonat dan lapisan baru karbonat, baru gambar bisa diukur (penanggalannya)," jelasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, tim ahli kemudian menguji usia gambar dengan teknik yang disebut penanggalan uranium-thorium.

"Air hujan merembes melalui batu kapur dan melarutkan sejumlah kecil uranium. Uranium bersifat radioaktif dan seiring berjalannya waktu membusuk menjadi elemen lain, torium. Tingkat pembusukan diketahui dengan tepat," ujar Maxime Aubert dari Griffith University kepada Science Alert.

"Kuncinya adalah uranium larut di air tapi torium tidak. Jadi ketika kalsit membentuk lapisan dari air hujan dan menutupi lukisan, awalnya itu mengandung uranium tetapi tidak ada torium. Jika kita mengambil sampel (dari) ribuan tahun kemudian dan mengukur rasio uranium versus torium, kita dapat menghitung usia lapisan," jelasnya.

Apakah ada gambar lain yang usianya sama dengan banteng liar?

"Kalau dalam arkeologi, ketika susah ada satu imaji memiliki rujukan umur, maka imaji-imaji yang setipe dianggap seumur," jelasnya.

"Kan ada gambar banteng warna merah (yang sudah diprediksi umurnya 40.000 tahun), maka banteng lain yang juga berwarna merah umurnya juga 40.000 tahun," sambung Pindi.

"Kemudian kalau gambar tangan dan sosok manusia yang berwarna ungu umurnya 20.000 tahun, maka gambar lain yang warnanya ungu sejaman."

https://sains.kompas.com/read/2018/11/19/193000023/merunut-kisah-penemuan-dinding-gua-tertua-di-kalimantan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke