KOMPAS.com - Selama ini, fosil-fosil yang sering ditemukan biasanya berupa tulang belulang sisa mahluk hidup dari masa lalu. Namun, paleontolog berhasil menemukan sebuah fosil yang tak terduga, yakni fosil paru-paru dari burung purba yang hidup pada awal periode Cretaceous sekitar 120 juta tahun lalu.
Temuan ini menjadi berharga karena membantu kita untuk memahami, bukan hanya anatomi burung purba, namun juga bagaimana burung-burung itu berevolusi dari waktu ke waktu menjadi hewan yang kita kenal sekarang.
Fosil burung itu sendiri merupakan Archaeorhynchus spathula yang merupakan anggota kuno dari garis keturunan Ornithuromorpha yang memiliki relasi dengan burung modern.
Sebelumnya, ahli sudah pernah menemukan 5 spesimen serupa. Namun, fosil kali ini berbeda.
Ketika ditemukan di Jiufotang di China, fosil ini awalnya menarik perhatian karena bulu-bulunya yang sangat terawetkan. Namun, pemeriksaan lebih dekat mengungkapkan struktur dada burung yang mungkin merupakan fosil paru-paru.
Pada tempat fosil itu ditemukan, ada dua bagian berwarna putih yang tak biasa.
Peneliti menilai jika bagian itu tidak mungkin isi perut burung, yang biasanya tampak hitam dan berkarbon. Jika bagian tersebut merupakan hati, biasanya juga muncul warna kemerahan karena kandungan zat besi yang tinggi.
Jadi, paru-paru merupakan penjelasan yang paling mungkin, dan mereka ternyata mengungkapkan sesuatu yang di luar dugaan.
Berdasarkan analisis tim, struktur paru-paru pada fosil juga ditemukan pada burung modern. Dari 12 sampel yang diteliti, tujuh di antaranya menyerupai kapiler udara yang ditemukan di paru-paru burung kecil modern.
"Fosil tersebut mengungkapkan paru-paru yang sangat mirip dengan burung yang hidup. Ini menunjukkan bahwa organ paru yang memungkinkan burung untuk mencapai kapasitas perolehan oksigen untuk terbang sudah ada 120 juta tahun yang lalu," tulis peneliti dalam makalah mereka.
Dari semua vertebrata yang hidup saat ini, burung memiliki sistem pernapasan yang paling efisien,
Mamalia melakukan respirasi secara dua arah, menghirup udara masuk dan mengeluarkannya, sehingga selalu ada campuran gas masuk dan keluar.
Sementara pernapasan pada burung, tidak mengembang dan berkontraksi seperti yang kita lakukan. Sebaliknya, mereka menggunakan kantung udara untuk mendorong udara segar searah melalui paru-paru.
Ini berarti udara yang bergerak melalui paru-paru burung memberikan kandungan oksigen yang lebih tinggi, untuk mengatasi kebutuhan oksigen yang lebih tinggi ketika terbang.
Fosil paru-paru ini pun setidaknya mampu mengungkap beberapa potongan teka-teki sejarah burung.
Salah satunya adalah bagaimana salah satu garis burung, Ornithuromorpha, bisa bertahan hidup selama peristiwa kepunahan Cretaceous di mana banyak burung lain yang tidak selamat.
Meski begitu perlu analisis lain untuk memastikan temuan ini, sebab jaringan lunak seperti paru-paru tidak tahan terhadap panas dan tekanan yang diperlukan untuk menciptakan fosil.
Tim peneliti mempresentasikan penelitian mereka di pertemuan tahunan Society of Vertebrate Palaeontology di Albuquerque dan mempublikasikannya di jurnal PNAS, Senin (22/10/2018).
https://sains.kompas.com/read/2018/10/25/183300923/langka-peneliti-temukan-paru-paru-burung-berusia-120-juta-tahun