Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ahli Sebut Ide PKL Jualan di Trotoar Bagus, Asal...

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memfasilitasi pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan di trotoar mendapat protes sejumlah pihak. Salah satunya berasal dari Koalisi Pejalan Kaki.

Protes ini menyusul sempitnya sisa trotoar yang bisa dimanfaatkan oleh pejalan kaki. Tapi, Yoga Adi Winarto, Country Director Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) justru menyambut baik niat dari Pemprov DKI Jakarta itu.

"Secara policy sebenarnya gak ada masalah. Maksudnya, secara kebijakan, tempat orang jalan kaki itu seharusnya dibikin seaktif mungkin," ungkap Yoga dihubungi lewat sambungan telepon, Kamis (25/10/2018).

"Jadi dari prinsip desain dan perencanaan itu kita gak mau lah ada trotoar yang kanan-kirinya itu isinya tembok aja, nggak ada apa-apanya," sambungnya.

Agar Lebih Menarik

Dengan sisi-sisi trotoar hanya berupa tembok, menurut Yoga, orang akan merasa lebih bosan karena tidak ada sesuatu yang menarik.

"Jadi sebenarnya, intinya bukan masalah PKL-nya. Tapi aktivitas sepanjang trotoar itu, memang harus dibikin ada," kata Yoga.

"Kalau di tempat kota-kota lain, mereka sudah digabungkan dengan pertokoan. Jadi begitu jalan, di samping-sampingnya sudah ada toko," imbuhnya.

Pengalaman berjalan di area trotoar yang memiliki toko dengan bentuk kaca besar ini bagi Yoga menjadi pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman ini kemudian mendorong banyak orang untuk lebih aktif berjalan kaki di trotoar.

"Kalau di Indonesia, kayak di Jakarta terutama di Sudirman -Thamrin misalnya, kalau kita lihat di kanannya memang jalanan di sebelah kirinya itu tembok, pager, bahkan kadang-kadang ada akses mobil atau parkiran," kisah Yoga.

"Jadi memang sebenarnya tidak menarik," tegasnya.

Pakai Muka Gedung

Untuk mengatasi permasalahan ini, Yoga tak lantas menyarankan untuk membiarkan PKL melakukan aktivitas ekonomi di trotoar. Dia lebih mengajurkan pembukaan muka gedung di beberapa wilayah Jakarta.

"Beberapa contoh yang sudah ada di beberapa bangunan di Thamrin, kalau nggak salah. Itu dengan membuat kayak semacam cafe atau coffee shop tapi cuma ada di area propertinya," tutur Yoga.

"Jadi tempat yang tadinya dibuat carport, parkiran itu dan gerbangnya dibuka," tambahnya menerangkan.

Dengan cara seperti ini, orang akan lebih tertarik berjalan di wilayah tersebut sekaligus bisa meningkatkan aktivitas ekonomi.

"Artinya, orang yang lagi jalan bisa ada langsung aktivitas ngambil ke sana (membeli barang)," ucap Yoga.

Dia menjelaskan, "Yang sekarang kadang ada bias itu sebenarnya kesannya PKL itu sama dengan informal, sama dengan ilegal."

Padahal permasalahan PKL di Indonesia, bagi Yoga terletak pada aktivitasnya. Hal ini sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara menata dengan baik.

"Ada contoh tadi yang di situ, dibuat seperti kafe-kafe kecil atau semacam bangunan temporer yang dibikin di parkiran tadi. Itu lebih meningkatkan orang tertarik untuk jalan (di trotoar) sambil beli," ujarnya.

"Paling gampang gini deh, seandainya kita minta minimarket untuk membuat bangunan-bangunan semi permanen, bukan di trotoarnya tapi lebih di area yang tadinya pager dibuka (muka bangunan)," tambahnya.

Perlu Aturan Tegas

Meski dianggap bisa menambah minat warga untuk berjalan kaki di trotoar, Yoga juga mengingatkan pentingnya bagi pemerintah membuat aturan untuk menjaga ketertiban.

"Jadi sebenarnya idenya saya pikir benar. Cuma jangan langsung bilang bahwa nanti ada PKL jadi kotor dan lain sebagainya. Itu karena (PKL) tidak di-manage, gak ada aturannya, perizinannnya gak ada," tegasnya.

Yoga menerangkan, "Tapi seandainya kita ngomong sektor formal, minimarket. Itu kan sebenarnya pasti ada perizinannya juga, mungkin akan diawasi, sampahnya pun mereka punya prosedur."

Dalam hal ini, Yoga ingin mengatakan bahwa cara-cara sektor formal ini bisa diadaptasi oleh bisnis informal seperti PKL.

"Kalau gitu kita bikinin spot-nya, mungkin bisa di space publik, bisa di privat. Kita bisa langsung ngomong sama pengelola gedung, 'tolong ini muka bangunan dibuka semua, kita kerja sama untuk menyiapkan kantong-kantong komersial'," jelasnya.

Kantong komersial yang dimaksud Yoga, nantinya akan dibagi dalam sektor formal dan informal (PKL). Pembagiannya 30 persen bisnis formal dan 70 persen informal.

"Nah, bisnis informal ini gak usah bayar sewa deh. Jadi bisa semacam Corporate Social Responsibility (CSR)-nya di gedung tadi. Pengelola masih bisa mendapat uang sewa dari bisnis formal tadi," kata Yoga.

Tapi berikutnya, dia mengingatkan bahwa pihak pemprov pun harus mengatur berbagai peraturan lain. Contohnya masalah pengelolaan sampah oleh PKL.

"Jadi harus memastikan tempat (jualannya) selalu bersih," ucapnya.

Dia menyontohkan, nyuci perlatan boleh di situ tapi airnya tidak boleh langsung dibuang di area gedung.

"Artinya, prosedur-prosedur kayak gini ini sudah harus ada," tegasnya.

Kerja Sama

"Saya pikir kalau kita bisa memberdayakan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta (dalam hal ini pengelola gedung) akan lebih enak," Yoga menambahkan.

Nantinya, cara seperti ini diharapkan menjadi semacam win-win solution. Pengelola gedung mendapatkan keuntungan dari menyewakan area di muka gedungnya.

Contoh lain yang diberikan Yoga adalah seperti model minimarket Lawson atau Sevel Eleven (Sevel) yang memberikan kursi atau tempat duduk di depan gedungnya.

"Bandung mereka bikin kayak gitu, di sepanjang Dago ada meja dan kursi permanen untuk duduk-duduk," kata Yoga.

"Artinya, ada aktivitas. Nah, kalau ada aktivitas di sepanjang depan gedung, mungkin gedungnya sendiri akan lebih menarik," imbuhnya.

Dengan menyewakan muka gedung untuk bisnis semacam ini, harapannya orang mungkin akan lebih banyak datang ke gedungnya.

"Jadi sebenarnya saya pikir, saatnya pemerintah berkolaborasi dengan swasta (pengelola gedung). Ayo kita tingkatkan aktivitas di sepanjang muka bangunan, di sepanjang jalan ini," Yoga menegaskan.

"Karena trotoarnya udah dibangun gitu aja, nggak ada yang makai kan akhirnya sia-sia," ujarnya.

Pada intinya, Yoga ingin menegaskan bahwa ide semacam ini bisa menjadi sarana untuk menarik perhatian orang agar lebih senang berjalan kaki di trotoar.

"Jadi, bagaimana caranya orang-orang ke sana (trotoar). Orang-orang yang baru turun dari halte transjakarta, mau ke trotoar oh ada yang jual minuman, permen, dan segala macem, beli dulu sebentar," tutur Yoga.

Yoga mengandaikan, "Beli kopi. Jadi kopi-kopi lokal kita seperti Tuku dan sebagainya juga bisa punya booth di sana."

Untuk menarik pelanggan, dia juga menegaskan perlu ada campur tangan dari pengelola properti. Menurut Yoga, pengelola bisnis properti pasti tahu caranya meningkatkan traffic ke gedungnya.

"Tapi kita syaratkan, syaratnya harus 70 persen sektor informal atau 50-50, minimal. Jadi tujuannya memang bukan untuk profit tapi fokus pada sektor informal," ujar Yoga.

"Dan pengawas gedung dan pemprov harus bikin kontrol tadi," tegasnya.

Pria yang pernah belajar di Inggris ini juga mengingatkan fungsi pengawasan ini agar tidak ada PKL yang melanggar aturan area yang diperbolehkan untuk jual beli.

"Jangan tiba-tiba mereka (PKL) bikin (booth) lalu mereka keluar dari area muka gedung dan mengambil wilayah trotoar," jelas Yoga.

Jualan di Trotoar Boleh, Asal...

Selain kerja sama dengan pihak pengelola gedung untuk mendapatkan area berjualan bagi PKL, Yoga juga mengatakan kemungkinan pengalokasian wilayah di trotoar.

"Tapi harus ada aturan mainnya. Jangan sampai, trotoar hanya dengan lebar 2 hingga 3 meter langsung disediakan tempat untuk berjualan PKL," katanya.

"Trotoarnya mungkin harus di atas 5 meter. Space yang dialokasikan hanya satu meter saja dan harus tidak boleh menutup akses pejalan kaki dan tidak boleh menghilangkan hak penyandang disabilitas," imbuhnya.

Intinya, selama ada aturan yang jelas pengalokasian area untuk berjualan PKL bisa dilakukan.

"Saya nggak bilang berarti secara prinsip harus seperti itu semua, tapi ini spesifik di mana di beberapa lokasi mungkin bisa. Kalau yang gak ada benefitnya ya nggak usah," tutur Yoga.

"Balik lagi, kalau kita lihat ada potensi di sana, kenapa gak kita alokasikan. Dan saya sangat-sangat encourage (menganjurkan), ini adalah cara kita untuk membuka muka bangunan tadi," tambahnya.

Saran tersebut diberikan Yoga karena menurut dia, sudah tidak pantas kota seperti Jakarta hanya dijejali pagar dan gedung langsung.

"Kita lihat aja di luar negeri itu. Di Malaysia aja udah nggak ada gedung-gedung kayak gitu," katanya.

"Hanya gedung lama yang masih seperti itu," kisah Yoga.

https://sains.kompas.com/read/2018/10/25/173138323/ahli-sebut-ide-pkl-jualan-di-trotoar-bagus-asal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke