KOMPAS.com – Salah satu perilaku yang membuat orangtua geleng-geleng kepala adalah ketika anaknya membeli uang mainan dengan uang asli. Hal ini pun mungkin pernah Anda lakukan dulu saat masa kanak-kanak, dan kini Anda sesali.
Di era modern ini, popularitas uang mainan rupanya masih sama seperti dulu. Bedanya bila dulu hanya dijual oleh pedagang mainan keliling, kini uang mainan bisa dibeli secara online dan diakses oleh lebih banyak anak-anak di Indonesia.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa anak-anak pada zaman apa pun mau membeli uang mainan dengan uang asli? Apakah mereka masih belum mengerti konsep nilai pada uang?
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, Kompas.com menghubungi Astrid Wen, seorang Psikolog Anak & Keluarga, serta Theraplay Practitioner dari Pion Clinician, melalui pesan singkat pada Selasa (23/10/2018).
Dalam memahami hal ini, rupanya orangtua harus mengetahui konsep bermain peran. Bermain peran adalah ketika seseorang pada segala usia bermain pura-pura, misalnya menjadi pedagang dan pembeli atau bermain monopoli.
Meski demikian, tindakan membeli uang mainan bukanlah bagian dari bermain peran. Anak-anak membeli uang mainan itu mungkin karena tertarik oleh jumlahnya yang lebih banyak dan bentuknya yang berwarna-warni.
Baru ketika uang itu digunakan untuk pura-pura menjadi pedaganglah, uang mainan menjadi bagian dari bermain peran.
Nah, tindakan membeli uang mainan itu sendiri, ujar Astrid, disebabkan oleh belum mengertinya anak akan konsep nilai uang.
Sejak usia tiga tahun, anak sudah bisa mengerti bahwa uang bisa digunakan untuk membeli barang. Akan tetapi, mereka belum tentu bisa memahami bahwa uang Rp 5.000 itu lebih besar dari uang Rp 2.000, bahkan ketika sudah duduk di sekolah dasar.
“Dia mungkin tahu untuk beli satu kue pakai uang yang bentuknya seperti Rp 2000, tapi dia enggak tahu cara belinya kalau pakai Rp 5000,” ujarnya.
Astrid berkata bahwa kemampuan kognitif anak untuk bisa mengerti nilai uang baru cukup berkembang pada usia sembilan hingga 10 tahun.
Lalu pada usia 11 tahun, anak mulai mengembangkan konsep berpikir abstrak yang digunakannya untuk memahami konsep ATM, cashless, dan lain sebagainya.
Meski demikian, bukan berarti anak dilarang menggunakan uang saat belum cukup usianya
Usia anak yang masih kecil adalah momen yang tepat bagi orangtua untuk membentuk kebiasaannya menggunakan uang, misalnya mengajari anak untuk menabung, membeli satu saja yang dipakai daripada membeli semua yang tidak dibutuhkan, atau untuk tidak langsung membeli es krim ketika menginginkannya.
“Walaupun belum mengerti nilai (uang), tapi kebiasaan menyisihkan uang dan membagi menjadi beberapa kategori sudah bisa dilakukan waktu sekolah dasar,” tutup Astrid.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/23/184500923/beli-uang-mainan-dengan-uang-asli-kenapa-dulu-kita-melakukan-ini