KOMPAS.com - Kamis (18/10/2018) kemarin, hujan mengguyur kota Jakarta. Namun, meski hujan telah menyambangi beberapa kota di Pulau Jawa, udara masih terasa panas dan gerah.
Menurut Agie Wandala Putra, Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut ada beberapa faktor terkait hal ini.
"Pertama, kemarin ada kulminasi, di mana setiap September hingga Oktober dan bulan Maret matahari berada di posisi lintang kita (Indonesia)," ungkap Agie melalui sambungan telepon, Jumat (19/10/2018).
"Itu memang matahari tepat ada di atas kepala kita. Secara alamiah begitu," imbuhnya.
Selain itu, Agie menyebut faktor suhu klimaks (terpanas) yang terjadi di Indonesia memang berada di waktu-waktu saat ini.
"Wilayah Jawa, atau di Indonesia sendiri, suhu maksimum memang terjadi pada Agustus hingga November," ujarnya.
Agie mencontohkan beberapa suhu tinggi yang pernah tercatat terjadi di Oktober. Misalnya saja, pada tahun 2007, suhu mencapai 38.3 derajat Celcius.
Pada tahun 2015, suhu tertinggi tercatat 39.5 di Semarang juga pada bulan Oktober.
"Artinya apa? Ada case-case memang, bulan Oktober memang bulan yang mengalami suhu ataupun puncak suhu sepanjang tahun," Agie menjelaskan.
"Di bulan Oktober ini, memang suhu tinggi karena satu kulminasi, kemudian pancaran radiasi relatif tinggi. Jadi, memang sudah dasarnya kemarau terus radiasinya tinggi, kombinasinya sama-sama membuat suhu makin panas," tambahnya.
Menurut Agie, dalam 30 tahun terakhir, suhu maksimum terjadi di bulan Oktober.
"Dan biasanya terjadinya di siang hari," tutur Agie.
"Dari pengamatan cuaca hari ini, (suhu) sudah agak turun sedikit. Ini sekarang rata-rata suhu tertingi 36 derajat Celcius," tambahnya.
Agie juga mengingatkan dengan keadaan suhu dan cuaca seperti ini membuat banyak orang rentan terkena flu.
"Karena, misalnya Jakarta, di Oktober minggu kedua ini pada siang dan sore hari sudah mulai ada hujan," katanya.
"Adanya hujan di sore hari tapi suhunya masih panas (membuat masyarakat rentan terserang flu)," imbuh Agie.
Panas vs Gerah
Selain membahas cuaca di wilayah Pulau Jawa yang panas, Agie juga menjelaskan rasa gerah yang dirasakan ketika akan terjadinya hujan.
"Ketika sebelum hujan itu kan sebenarnya lembab, jadi saat mendung itu ada uap air yang di sekitar wilayah kita," ujar Agie.
Agie menjelaskan, "Uap air ini kan sebenarnya penghantar panas (kalor) yang cukup bagus. Sehingga kita cenderung merasakan cuaca yang sumuk sebelum hujan."
Dia menambahkan, ketika mendung ada proses perubahan uap air dari gas menjadi air.
"Nah, pada proses mendung, biasanya kalor kan dilepas ke udara. Jadi, semakin dekat hujan atau awan itu ke permukaan bumi, maka energi panas akan semakin terasa," tutur Agie.
"Kan, uap air penghantar kalor yang baik. Karena kan uap airnya tebel, jadi semakin terasa gerah atau panas," tambahnya.
Agie juga menuturkan biasanya setelah energi kalor dilepas, akan terasa dingin tepat sebelum hujan.
"Itu akibat adanya udara dingin dari awan," ucap Agie.
"Kalau pas masih mendung, itu udara panas atau kalornya yang dilepas," tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/19/170000423/sudah-mulai-hujan-kok-jakarta-masih-panas-dan-gerah-