Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tutur Sejarah Kolonial tentang Gempa-gempa yang Guncang Bali dan Jawa

Gempa bermagnitudo 6,4 yang mengguncang Situbondo pada Kamis (11/10/2018) dini hari mengingatkan kita bahwa riwayat gempa bumi merusak dapat berulang kapan saja.

Kejadian gempa atau lindu yang berpusat sekitar 35 kilometer arah selatan Pulau Supadi, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa Timur itu menewaskan tiga orang. Semua korban tewas karena tertimpa bangunan.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengidentifikasi gempa tersebut memiliki mekanisme sesar naik (thrust fault) dengan kemiringan bidang sesar ke arah selatan.

Kepada Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono menduga gempa bersumber dari sesar naik Flores yang sebelumnya memicu rentetan gempa di Lombok.

Sesar naik Flores memanjang dari utara Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, hingga utara Bali.

Sesar naik Flores terdiri dari beberapa segmen yang bertanggungjawab terhadap sejumlah gempa besar diikuti tsunami, seperti yang terjadi di Flores pada 1992 dan utara Bali pada 1815.

Tsunami Flores yang terjadi 26 tahun lalu menewaskan sekitar 2.000 jiwa dan mungkin masih diingat sebagian orang. Namun, tsunami Bali pada 1815 barangkali sudah hampir sirna dari ingatan, tak terkecuali bagi masyarakat Bali sendiri.

Dalam katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877 yang disusun Arthur Wichman (1918), gempa Bali 1815 terjadi pada 22 November sekitar pukul 10 malam dan diikuti tsunami.

Peristiwa yang terjadi pada tahun Saka 1737 atau 1815 itu juga terekam dalam Babad Buleleng dan Babad Ratu Panji Sakti, meski dengan ringkas.

Catatan yang cukup detail tertuang dalam naskah Puri Ayodya yang menuturkan, pada hari Rabu umanis kurantil tahun Saka 1737 (22 November 1815), gempa bumi besar mengguncang. Getaran gempa bumi mengakibatkan pegunungan retak longsor dengan suara menggelegar seperti guntur.

"Longsoran pegunungan lantas menimpa ibu kota Buleleng, Singaraja. Desa-desa tersapu ke laut. Bencana ini menewaskan 10.523 orang. Banyak pejabat penting kerajaan turut menjadi korban, tetapi Raja Buleleng I Goesti Angloerah Gde Karang selamat." (Harian Kompas, 22/07/2017).

Selain gempa besar di Bali pada 1815, pulau Dewata itu juga pernah dilanda gempa bermagnitudo 6,5 pada 14 Juli 1976. Menurut pemberitaan Harian Kompas 17 Juli 1976, peristiwa ini menewaskan lebih dari 400 orang dan 3.000 orang mengalami luka-luka.

Kerentanan Jawa

Seperti Bali, Pulau Jawa juga dilintasi banyak sesar darat yang aktif.

"Gempa di Situbondo ini harus membuat kita sadar bahwa gempa dengan kekuatan yang sama bisa terjadi di daratan Pulau Jawa," kata Irwan Meilano, ahli gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung.

Peneliti gempa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Gayatri Indah Marliyani juga mengatakan bahwa ada beberapa sumber yang merekam banyak kejadian gempa saat masa kolonial di pulau Jawa.

"Dari hasil kajian paleseismologi memang ada gempa berulang berkekuatan sekitar 6-7 di berbagai lokasi di Jawa. Kekuatan sebesar itu kalau di darat dekat pemukiman akan menimbulkan kerusakan besar, seperti di Yogyakarta tahun 2006 yang korbannya sampai 6.000 orang," kata Gayatri.

Salah satunya, tercatat ada gempa merusak yang terjadi pada 26 November 1852 berpusat di Grati, Pasuruan, Jawa Timur. Gempa tersebut dirasakan sampai Surabaya, yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari Gatri.

Catatan Visser SW (1922) telah merekam setidaknya 21 kali gempa cukup kuat yang pernah terjadi di Pulau Jawa dari kurun 1699 hingga 1920. Beberapa daerah yang disebut menjadi pusat gempa di antaranya, Cirebon, Rembang, Banyumas, Ambarawa, Yogyakarta, Kuningan, Cianjur, Sukabumi, Majalengka, Madiun, hingga Salatiga.

Gempa besar di ibukota

Jakarta tak luput dari catatan gempa besar. Dalam katalog yang ditulis Arthur Wichman, gempa sangat kuat pernah dirasakan Jakarta pada 5 Januari 1699 sekitar pukul 01.30, ketika hujan lebat.

Selain banyak bangunan roboh, gempa juga menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak.

"Banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut. Di mana-mana terjadi kehancuran," tulis dokumen ini.

Ahli gempa bumi dari Research School of Earth Sciences, Australian National University PR Cummins, saat menjadi pembicara kunci dalam lokakarya di Tsunami & Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC) Universitas Syiah Kuala Aceh, pekan lalu menyebutkan, sumber-sumber kolonial menunjukkan, hampir seluruh Pulau Jawa pernah diguncang gempa bumi di atas skala 5 Modified Mercalli Intensity (MMI) dalam kurun 1699 hingga 1867.

Dengan  melihat kepadatan penduduk dan kualitas konstruksi bangunan saat ini, Cummins mengkhawatirkan, jika gempa-gempa ini terjadi kembali saat ini, jumlah korban jiwa bisa lebih dari 10.000. Khusus untuk gempa besar yang pernah melanda Jakarta tahun 1699,  korban jiwa bisa mencapai lebib dari 100.000 jiwa.

Selain itu, gempa kuat juga merusak rumah-rumah di di Jakarta pada 1780 (Wichman, 1918). Beberapa kali kejadian gempa di Jakarta ini membuat sejumlah peneliti menduga kuat adanya sesar darat melintas di  kota ini, sekalipun sampai saat ini jalur persisnya belum diketahui karena kepadatan hunian dan juga lapisan sedimen tebal.

Hingga saat ini gempa bumi memang belum bisa diprediksi kapan terjadinya. Namun dari data-data sejarah ini, hanya soal waktu kota-kota padat penduduk di Pulau Jawa akan kembali mengalaminya.

Melalui mitigasi, di antaranya memperkuat bangunan menjadi tahan gempa, risiko kerugian dan jumlah korban bisa dikurangi.

https://sains.kompas.com/read/2018/10/16/180600823/tutur-sejarah-kolonial-tentang-gempa-gempa-yang-guncang-bali-dan-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke