SURAKARTA, KOMPAS.com - Himpunan mahasiswa psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS) ikut memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Uniknya, pada peringatan kali ini, mereka mencoba menerjemahkan berbagai aspek psikologi melalui karya seni.
Bertajuk "Mental Heallth Agent in Digital Era", mereka mencoba membawa masyarakat untuk lebih memahami psikologi dengan cara lain, yaitu karya seni.
Dalam pameran yang diadakan pada Jumat hingga Minggu (12-14/10/2018), mereka memamerkan 86 karya dari berbagai kalangan di seluruh Indonesia. Di antaranya karya dari para pengidap gangguan mental.
"Menarik sebenarnya. Dalam psikologi itu kan kita bisa melihat dalamnya orang dari luaran (karya) dari dia," ungkap Michael Jason, ketua panitia, kepada Kompas.com, Jumat (12/10/2018).
Karya dari orang dengan gangguan mental yang dipamerkan dalam acara ini didapatkan panitia dengan kerja sama dengan beberapa komunitas. Di antaranya Komunitas Peduli Skizofren Indonesia (KPSI) dan Griya Skizofren.
"Memang KPSI ini kegiatannya salah satunya mengajak orang dengan gangguan mental untuk tetap berkarya," ujar pria yang akrab disapa Jason itu.
Dalam kesempatan tersebut, Jason menjelaskan sedikit bagaimana gambar bisa menunjukkan tentang yang dialami pembuat karya. Jason mencontohkan salah satu karya dari orang dengan skizofrenia (ODS).
"Ini menarik, ketika beliau diminta mengambar, bapaknya langsung dibagi dan langsung angka. Dan kalau diperhatikan, angka 15 itu gak ada," tutur Jason.
"Kalau gambar labirinnya sendiri, itu kita gak tau orangnya masuk atau keluarnya dari mana. Jadi dari situ kita bisa lihat sedikit banyak dinamika dalam diri (pembuat karya)," imbuhnya.
Jason juga menunjukkan sebuah karya berupa gambar tumbuhan. Menurutnya, dalam psikologi, gambar tumbuhan bisa digunakan untuk melihat dinamika dalam diri seseorang.
"Gambar ini punya makna yang dalam. Meski jika dilihat seperti biasa aja," kata Jason.
"Background putih dengan yang diwarna sudah punya makna yang lain. Jadi kita bangga sih bisa menampilkan ini," tegasnya.
Tema
Terkait tema yang diangkat dalam pameran kali ini, Jason menyebut ini berawal dari semangat agar ilmu psikologi bisa dipelajari khalayak yang lebih luas.
"Di psikologi itu kan kita belajar perilaku dan proses mental. Ketika mengetahui perilaku dan proses mental diri, at least kita jadi tahu apa yang terbaik untuk diri sendiri," tutur Jason.
"Jadi kita bisa jadi mental health agent, minimal untuk diri sendiri. Kalau sudah, kita bisa memberi sumbangsih bagi lingkungan yang lebih sehat mentalnya," imbuhnya.
Pemilihan digital era dalam tema tersebut juga didasari kegelisahan para mahasiswa psikologi tersebut tentang era yang serba online.
"Kita ingin, digitalisasi ini menjadi alat untuk menyebarkan (lingkungan psikologis yang lebih sehat)," ujar Jason.
"Harusnya seperti itu. Bukannya kita diperbudak oleh digitalisasi," tambahnya.
Semangat yang ingin dibawa oleh para mahasiswa psikologi itu adalah memanfaatkan era digital dalam hal yang lebih positif.
Sebagai informasi, peringatan hari kesehatan dunia tahun ini berfokus pada anak muda dan remaja. Acara ini juga dikaitkan dengan fokus dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut.
"Kami menggambil youth empowerment ini adalah untuk membuat mereka (anak muda) hidup dengan lebih happy, healthy, and resilience," ujar Jason.
"Nah, tapi mereka memberi konteks, apa sih tantangan yang ada untuk itu? Salah satu yang dilihat paling besar oleh World Federation for Mental Health (WFMH) adalah era digital," imbuhnya.
Jason menambahkan, tantangan terbesar inilah yang diambil oleh para mahasiswa UNS tersebut untuk diangkat dalam pameran.
"Kalau dari kita sendiri, mengkaitkannya dengan youth itu kita sendiri sebagai agen kesehatan mental," kata Sarah, juru bicara pameran tersebut menambahkan.
"Jadi ini aksi nyata dari seorang youth. Kami sebagai mahasiswa yang fokus terhadap kesehatan mental itu," tuturnya.
Bentuk Refleksi
Pemilihan pameran seni sebagai bentuk untuk memahami ilmu psikologi itu menurut para mahasiswa UNS ini sebagai bentuk refleksi diri.
Menurut mereka, refleksi diri dengan karya seni menjadi satu cara untuk mengembalikan kesadaran mental para anak muda agar tidak melakukan keputusan salah.
"Dengan membuka tema ini, kami mengundang teman-teman seniman dan psikologi untuk berefleksi, menyiapkan kembali mental mereka, dengan menuangkan apa yang ada dalam pikiran mereka keluar," kata Jason.
"Salah satu metode juga sebenarnya, yang kami terapkan dalam pameran ini," tambahnya.
Selain itu, karya seni juga dianggap dapat menarik minat sebagian besar anak muda untuk menyaksikan pameran kali ini.
"Kita harapkan dengan adanya ini (kerya seni) bisa menjadi media yang bisa menyampaikan bahwa mental health itu sebuah urgensi," tegas Sarah.
Pameran kali ini juga terbagi dalam empat sub teman, yaitu self, lifetime, different, dan national issues. Sarah menyebut pembagian tersebut terkait dalam cabang ilmu psikologi yang bisa dipelajari.
"Cabang ilmu yang bisa diinterpretasi dalam seni dan juga bermanfaat bagi masyarakat," kata Jason.
Selain pameran karya seni, himpunan mahasiswa psikologi UNS ini juga menyertakan workshop dalam acaranya. Hal itu untuk menjembatani bagi pengunjung yang berminat menggali lebih dalam tentang psikologi setelah melihat karya seni yang dipamerkan.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/15/114312523/merefleksikan-kesehatan-mental-dan-tantangan-digital-dalam-karya-seni