KOMPAS.com – Berita tentang adanya bencana alam biasa tersebar di sosial media. Tidak hanya inti beritanya, sering kali gambar-gambar dari kehancuran fisik akibat bencana alam juga tersebar. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat memengaruhi psikologis remaja.
Remaja menjadi sorotan dalam hal ini karena mereka adalah individu yang sedang berada dalam masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dalam fase ini, tentu saja emosi dan pikirannya belum sepenuhnya matang.
“Transisi itu menjadi hal yang sangat penting karena terjadi perubahan besar secara psikologis pada kelompok usia remaja,” ujar dr Petrin Redayani Lukman dari Divisi Psikoterapi, Departemen Psikiatri, RSCM, dalam paparannya pada kegiatan Mental Health Among the Youth, Jumat (12/10/2018).
Dia melanjutkan, masa remaja akhir adalah periode yang sangat penting karena sebagai periode pembentukan identitas, dan ini yang menentukan struktur kepribadian saat masuk fase dewasa.
Lebih lanjut, ada perubahan pemikiran yang sebelumnya gradual menjadi abstrak pada transisi remaja. Mereka juga memiliki kecenderungan mempertimbangkan banyak kemungkinan dan hasil logis dari perisitiwa yang mungkin terjadi.
Ini menunjukkan bahwa pada fase transisi, remaja lebih rentan terhadap informasi-informasi yang tersebar secara visual, termasuk di dalam dunia maya terkait bencana alam. Penyebaran visualisasi bencana alam yang dikonsumsi remaja dapat menimbulkan dampak psikologis remaja.
Dokter Tjhin Wiguna, seorang psikiater anak dan remaja dari Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, RSCM, sudah pernah menemui pasien yang ketakutan karena menonton video bencana alam dan berita bohong mengenai megathrust di Jakarta.
Dia mengakui bahwa tidak semua remaja dapat mengalami hal ini. Namun, ketika visualisasi bencana alam berhasil diterima oleh remaja yang rentan secara psikologis, kondisi serupa akan terjadi. Pada jangka pendek, penyebaran gambar tersebut dapat menyebabkan depresi dan ketakutan berlebih bagi remaja.
“Kalau sudah ada gangguan depresi, dalam fungsi sehari-hari pasti terganggu, bisa mengurung diri, tidak semangat beraktivitas, kekhawatiran berlebih, sedih, dan mudah marah,” ujarnya.
Jika sudah terlanjur mengalami hal tersebut, orangtua wajib melakukan tindakan sedini mungkin agar tidak berkepanjangan di masa dewasa kelak.
Bagi anak dengan gangguan psikologis seperti depresi, penanganan medis yang biasanya diberikan berupa obat antidepresan, stimulansia, dan vitamin dengan jangka terapi minimal 6 sampai 8 minggu.
Perlu Anda ingat, masa remaja adalah masa pencarian jati diri bagi semua orang. Pada masa ini, remaja akan mudah menyerap segala informasi yang tersebar dan lebih percaya pada lingkungan sekitar.
Untuk itu, dr Tjhin menyarakan agar pada kasus penyebaran berita bencana alam, visualisasi korban tidak ikut dibagikan demi mengurangi faktor risiko gangguan mental yang mungkin akan dialami remaja.
“Sekarang gadget sudah banyak, harus posting hal yang positif, bukan gambar bencana, orang menangis, dan rumah runtuh. Itu membuat tidak nyaman. Kita sudah tahu bencana ada di suatu daerah, kita harus memberikan sesuatu yang membangun perasaan dan harapan bagi korban bencana,” katanya.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/13/070600623/demi-kesehatan-remaja-jangan-sebarkan-foto-foto-korban-bencana-alam