Dr Marlinda Adham Yudharto, Sp.THT-KL(K) berkata tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan warna-warna kotoran yang berbeda.
Warna kotoran telinga seperti kuning, oranye, cokelat, bahkan mendekati hitam adalah hal yang normal.
"Sebenarnya enggak ada masalah pada warna (kotoran telinga)," jelas Linda saat dihubungi Kompas.com, Kamis (11/10/2018).
Selain warna yang tidak perlu dikhawatirkan, Linda berkata bahwa telinga juga memiliki mekanisme untuk membuat kotoran telinga menjadi kering atau basah. Masing-masing individu memiliki jenis kotoran yang berbeda.
Khusus untuk orang yang memiliki kotoran basah, Linda menganjurkan agar rutin membersihkan ke dokter setiap enam bulan sekali.
Sebab, orang yang jenis kotoran telinganya basah, jika berusaha membersihkan sendiri justru akan membuat kotoran terdorong ke belakang hingga menutupi gendang telinga.
Faktor genetik dan pola migrasi
Namun, seperti dilansir BBC tahun 2016, jenis kotoran telinga basah atau kering sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Tepatnya, satu huruf dalam satu gen.
Gen yang dimaksud bernama ABCC11. Jika gen yang kita miliki adalah huruf A dan bukan G, maka kotoran telinga kita jenisnya kering.
Menurut artikel tersebut, kotoran telinga juga bisa digunakan untuk menelusuri pola migrasi manusia.
Mereka yang berasal dari keturunan Kaukasia atau Afrika cenderung memiliki tipe kotoran telinga basah, sementara orang Asia Timur lebih banyak yang memiliki kotoran telingan kering dan bersepih.
Dua jenis kotoran telinga ini lebih seimbang komposisinya di kalangan etnis Kepulauan Pasifik, Asia Tengah, Asia Kecil, dan suku asli Amerika serta Inuit.
Bagaimana membersihkan dengan benar?
Masalah yang paling sering dialami dan ditanyakan kebanyakan orang soal kotoran telinga adalah bagaimana cara membersihkannya.
Tak hanya saat ini saja, ternyata masalah ini sudah dirasakan sejak abad pertama Masehi. Dalam bukunya, De Medicina, Aulus Cornelius Celsus dari Romawi menyarankan serangkaian cara untuk menghilangkan kotoran telinga.
"Jika bentuknya serpihan (mungkin merujuk ke jenis kotoran telinga yang kering), tuangkan minyak panas, atau kerak hijau tembaga yang dicampur dengan madu atau jus daun bawang atau sedikit soda dalam anggur madu," katanya.
Saat kotoran mulai mengelupas, buku tersebut menyarankan untuk membilasnya dengan air.
"Tapi jika bentuknya zat lilin (mungkin merujuk ke jenis basah), pakailah cuka yang mengandung sedikit soda, dan ketika kotoran telinganya melunak, maka cuci telinga," tulisnya.
Dia juga mengingatkan agar telinga disuntik dengan castoreum —zat yang keluar dari berang-berang— dicampur dengan cuka dan minyak laurel dan sari kulit radish muda, atau dengan sari mentimum, dicampur daun mawar yang dihancurkan. Dengan meneteskan jus dari buah anggur yang belum masak dicampur minyak bunga mawar juga bisa melawan ketulian.
Jika dicermati, maka resep ini hanya kedengaran sedikit lebih mudah daripada menggunakan mata salamander sebagai bahan pengobatan, namun sampai sekarang pun dokter masih menggunakan minyak zaitun atau badam untuk melunakkan kotoran telinga sebelum diangkat.
Penyakit karena kotoran telinga
Pada kenyataannya, beberapa orang menderita masalah terkait kotoran telinga yang serius sampai butuh perawatan.
Berdasarkan analisis 2004, ada sekitar 2,3 juta orang di Inggris yang setiap tahun harus ke dokter untuk mengatasi masalah tersebut, dan sekitar empat juta telinga dirawat setiap tahunnya.
Lansia, anak-anak, dan mereka dengan kesulitan belajar sering mengalami masalah akibat dari gangguan kotoran telinga.
Efeknya bisa berakibat pada kehilangan pendengaran, tentu saja, tapi juga menarik diri dari kehidupan sosial dan bahkan paranoia ringan.
Para ahli mengatakan, beberapa pasien mengalami masalah gendang telinga gara-gara kotoran.
Sampai sekarang, praktisi kesehatan masih menggunakan minyak zaitun atau minyak badam untuk melunakkan kotoran telinga.
Serum tersebut tidak akan membuat gendang telinga rusak. Artinya, mereka yang mengalami masalah pada gendang telinga besar kemungkinan disebabkan oleh diri sendiri, salah satunya dengan menggunakan cotton bud.
Dalam penggunaan cotton bud, Linda mengingatkan agar kita tidak menggunakannya setiap hari. "Jangan setiap hari, karena telinga punya mekanisme pembersihan sendiri," kata Linda.
Pada 2012, peneliti University of Minnesota Medical School, Anjali Vaidya dan Diane J Madlon-Kay menyimpulkan bahwa tak ada satu pun metode pembersihan yang terbukti paling baik, paling aman, atau paling efektif dibanding yang lain. Pembersihan yang dimaksud adalah mengguanakan pelembut kotoran telinga, pembasahan, atau metode pembersihan lain.
Prosedur ini lebih baik ditangani oleh yang ahli.
Risiko pembersihan telinga
Terlepas dari risikonya, beberapa orang tetap saja menggunakan cotton bud setelah mandi.
Menggosok-gosok telinga menggunakan pembersih berisiko membolongi gendang telinga, atau malah mendorong kotoran telinga masuk lebih dalam.
Kadang-kadang kapas di ujung pembersih bisa lepas, dan berada dalam saluran telinga.
Selain itu, pengobatan alternatif ear candle juga memiliki faktor risiko.
Dalam praktik ini, lilin bolong yang terbuat dari lilin lebah atau parafin ditaruh dekat telinga lalu dibakar.
Idenya, panas di dalam lilin yang bolong tersebut akan menarik kotoran telinga keluar dari saluran telinga, sehingga mudah dibersihkan.
Tak ada bukti yang mendukung praktik ini, dan banyak bukti yang membenarkan bahwa membakar lilin panas di dekat telinga akan membuat sakit dan lebih baik dihindari.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/12/133607723/misteri-tubuh-manusia-kenapa-kotoran-telinga-bentuknya-berbeda-beda